Friday, May 27, 2011

MENUNAIKAN MIMPI DI TEMBOK CHINA (BAGIAN PERTAMA)

The Great Wall
Menapakkan kaki di The Great Wall atau Tembok China adalah mimpi masa kecilku yang tak pernah terfikir bisa terwujud. Siapa sangka, mimpi itu justru mengantarkan kakiku berdiri di atas angkuhnya bangunan batu, yang konon terlihat hingga di permukaan Bulan itu.

Keinginan untuk melihat Tembok China secara langsung dengan mata kepala sendiri, seperti tak henti hentinya membayangiku. Ketika aku masih kanak kanak, China terasa begitu jauh, bahkan mungkin menjadi hal yang mustahil untuk aku bisa sampai kesana. Apalagi aku hanya tinggal di sebuah kampung yang bahkan dari ibukota saja sangat terasa jauhnya.

Tapi bukankah tekad adalah tiket pertama untuk mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan ? Barangkali juga karena sejak kecil aku sering mendengar di pelajaran agama, bahwa belajarlah sampai ke negeri Cina, yang membuatku ingin tahu banyak tentang negara itu. Entah ada apa di negara itu, sehingga belajar saja harus jauh jauh kesana. Belajar dalam hal ini pastinya bukan belajar seperti di sekolah, tapi aku yakin ada sesuatu di negara itu yang layak kita jadikan sebagai pelajaran.

Dua tahun aku menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilanku, untuk bisa mewujudkan impianku melihat tembok Cina bahkan kalau mungkin menyentuhnya. Hingga akhirnya pada pertengahan tahun 2007, tekadku untuk berangkat ke China, benar benar sudah tidak bisa terbendung lagi.

The Venetian of Macau
Persiapanku sudah cukup. Hampir setahun aku mempelajari Buku Lonely Planet tentang seluk beluk China. Buku setebal 1200 halaman itu sudah kulahap habis tiap halamannya. Saking seringnya membaca buku itu, jauh hari sebelum berangkat ke China, aku merasa sudah cukup menguasai negara itu, mulai dari transportasi, rute, budaya, hingga akomodasi disana.

Beberapa bulan sebelum berangkat aku mulai menyusun rute, termasuk membandingkan jarak dan harga tiket yang paling murah. Aku memilih berangkat pada bulan Maret 2008, tepat menjelang akhir musim dingin di negara itu. Kebetulan pada bulan itu, harga tiket domestik di China lumayan murah dibanding bulan bulan lain. Menariknya lagi, cuaca pada bulan Maret, cukup bersahabat.

Rute yang aku pilih adalah Jakarta ke Kualalumpur dengan harga tiket hanya Rp. 280.000 dan  Kualalumpur ke Macau dengan tarif Rp. 340.000. Penerbangan tarif rendah yang betul betul sangat murah meriah. Dari Macau aku akan melanjutkan perjalanan menyeberang dengan Ferry ke Hongkong. Selanjutnya dari Hongkong aku akan menempuh perjalanan dengan kereta api ke Guangzhou (Mainland of China) dari Guangzhou baru deh naik pesawat lagi ke Beijing.

Macau
Dua bulan sebelum berangkat, aku sudah sibuk menyiapkan perlengkapan pakaian musim dingin, seperti jaket tebal, sweater, pakaian dalam longjhon, penutup kepala (kupluk), sal bulu, sampai kaos tangan wol. Semua perlengkapan musim dingin itu sudah memenuhi separuh tas ranselku yang lumayan besar.

Waktu yang aku tunggu tunggu pun akhirnya tiba, tepat di awal Maret. Untuk kesekian kalinya aku akan melakukan perjalanan traveling sendiri tanpa teman dan hanya bermodalkan pengetahuan dan rasa penasaran, dan kali ini tujuanku adalah ke China, negeri impian. Hari masih gelap ketika aku meluncur ke bandara, karena aku akan berangkat dengan penerbangan pertama ke Kualalumpur.

Dua jam kemudian, aku tiba di Kualalumpur artinya ada rentang waktu sekitar 12 jam untuk menunggu penerbangan ke Macau. Maklum resiko memilih tiket penerbangan murah, berarti kita harus mengikuti jadwal yang tidak bisa kita atur sesuka kita, seperti halnya membeli tiket reguler. Dua belas jam tentunya cukup lama jika hanya dihabiskan di bandara, tapi apa boleh buat sudah resiko, lagian bosan jalan jalan lagi di Kualalumpur. Maka istrahat, tidur dan makan aku lakukan di bandara.

Akhirnya penerbanganku ke Macau berangkat tepat waktu. Hampir empat jam aku mengarungi langit yang gelap, karena saat itu pesawat yang menerbangkan aku ke Macau berangkat pukul 9 malam. Sekitar pukul 00.50 menit, pesawat mendarat dengan sempurna di Macau International Airport di Macau. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Macau, namun karena cukup banyak mempelajari bekas koloni Portugis itu, aku jadi merasa sangat akrab dengan kota ini.

Berhubung sudah larut malam, aku memilih untuk tidur di bandara. Kebetulan ada beberapa turis backpacker yang juga beristrahat di bandara yang tidak begitu besar itu. Cuaca dingin di Macau malam itu menusuk hingga ke tulang. Kalau tidak salah suhunya sekitar 14 derajat celcius. Aku memilih merebahkan tubuhku di sudut yang sedikit hangat di dalam bandara, memakai kupluk, dua lapis sweater dan tidur dalam keadaan bersepatu.

Memanggul ransel seberat 18 kilogram seharian, lumayan membuat tubuhku terlelap dengan cepat. Apalagi lampu di beberapa ruangan di bandara itu sudah mulai diredupkan, karena aktifitas di bandara Macau sudah terhenti sejak pukul 2 dini hari, sehingga suasana lumayan tenang untuk beristrahat.

Hongkong
Esok paginya, setelah cuci muka, gosok gigi dan ganti baju di toilet bandara, aku langsung berangkat menuju Macau Ferry Terminal dengan naik bus AP1, tapi aku sempat mampir juga di beberapa tempat sekadar berfoto. Aku sengaja meninggalkan Macau menuju Hongkong sedikit lebih awal agar antrian di pelabuhan tidak begitu panjang. Kursi kursi dalam bis yang aku tumpangi pun masih banyak kosong.

Pukul 10 waktu setempat, aku tiba di Hongkong. Biasanya hanya butuh waktu 1 jam menyeberang dari Macau ke Hongkong. Tapi karena saat itu cuaca berkabut di atas perairan yang memisahkan Hongkong dan Macau, maka aku baru tiba di Hongkong Ferry Terminal Tsim Tsa Tsui, Kowloon, sekitar 1,5 jam kemudian. Aku segera menuju Keswick Street, tidak jauh dari Konsulat Indonesia. Di sekitar kawasan ini terdapat beberapa hotel murah. Murah di Hongkong berarti ratenya di bawah 500ribu rupiah/malam.

Keesokan harinya, setelah sempat berjalan jalan beberapa jam di Hongkong, sorenya aku langsung memanggul ransel besarku menuju Hung Hom Rail Station. Dari Hung Hom, aku akan melanjutkan perjalanan menuju Shenzhen dan Guangzhou, dua kota yang terletak di Propinsi Guangdong, bagian wilayah China daratan yang paling dekat dengan Hongkong. Untuk masuk ke wilayah Mainland China, kita harus sudah memiliki visa masuk, sebelum meninggalkan Indonesia.

Hung Hom, Railway Station @ Hongkong
Perjalanan dengan kereta api dari Hongkong ke Guangzhou memakan waktu 2,5 jam. Jaraknya kurang lebih 340 Kilometer. Berbeda dengan kereta api di Indonesia, kereta yang menghubungkan Hongkong dan China daratan, jauh lebih tinggi, karena terdiri dari dua lantai penumpang. Di setiap gerbong dilengkapi dengan tempat untuk meletakkan bagasi sehingga kereta terasa jauh lebih lapang dan lebih hening.

Jam 8 malam aku tiba di East Railway Station di Guangzhou. Malam itu aku akan bermalam di kota Industri itu untuk melanjutkan penerbangan dengan pesawat domestik esok pagi menuju Beijing. Jarak dari East Railway menuju ke tengah kota, sekitar 5 kilometer. Jalur terbaik untuk sampai ke kota adalah dengan MRT Metro Guangzhou. Tidak sampai 20 menit aku sudah sampai di tengah kota.

Satu hal yang selalu menjadi kendala bagi para turis yang berangkat ke China, adalah masalah bahasa. Hanya segelintir orang di daratan China yang bisa berbahasa Inggris. Untuk itu, kemampuan berbahasa Mandarin, sangat dibutuhkan disini, minimal bisa bertanya, mengerti angka, dan percakapan sehari hari. Beruntung, jaman kuliah dulu aku sempat kursus Bahasa Mandarin, walaupun hanya sampai level dua. Tapi paling tidak aku bisa berkomunikasi.

Cuaca di Guangzhou jauh lebih dingin daripada di Hongkong. Pada puncak musim dingin suhu disini bisa mencapai 10 derajat celcius. Malam itu suhu di Guangzhou sekitar 12 derajat celcius. Lumayan dingin, apalagi perut sudah mulai bergolak karena rasa lapar yang tidak tertahankan.

Tiba di East Railway Station @ Guangzhou
Malam itu aku menginap tidak jauh dari Beijing Lu (Beijing Road), kawasan shopping paling tersohor di Guangzhou. Aku sedikit kesulitan tidur, karena tak sabar rasanya menunggu pagi dan ingin cepat cepat sampai di Beijing. Selain ke Great Wall, satu hal yang seumur hidup belum pernah aku lihat adalah salju. Kalau aku beruntung, mungkin aku masih bisa menikmati Salju terakhir menjelang musim semi di ibu kota Republik Rakyat China itu.

Akhirnya, pagi pagi sekali di bawah hujan gerimis sedingin es, dan mulut masih mengepulkan asap karena udara yang dingin, aku berlari kecil sambil menggendong ransel menuju halte bis. Aku naik bis menuju salah satu hotel besar, yang di depannya biasa digunakan sebagai halte shuttle bus menuju bandara. Menurut yang aku baca, jarak ke Baiyun Airport ditempuh sekitar 1 jam. Itu artinya bandara lumayan jauh dari pusat kota.

Baiyun International Airport of Guangzhou
Untung pagi pagi sekali aku sudah berangkat menuju bandara. Perjalanan menikmati wajah Guangzhou sungguh menggairahkan. Aku seperti menemukan sebuah kehidupan yang benar benar baru. Orang tua dan anak anak kecil berjalan dan bermain di taman taman dan di pedesterian lebar yang membentang di tepian sungai. Guangzhou adalah kota pertama yang menyapaku di daratan China.

Tiga jam sebelum jadwal penerbangan, aku sudah duduk manis di Baiyun International Airport of Guangzhou. Untuk ukuran bandara domestik, bandara Baiyun boleh dikata sangatlah besar, bahkan lebih layak jadi bandara ibu kota negara. Aku yakin, Beijing akan jauh lebih mengagumkan dibanding Guangzhou.

Baiyun International Airport of Guangzhou
Menjelang pukul 11 waktu setempat, penumpang jurusan Beijing dipersilahkan masuk ke kabin pesawat. Aku menumpangi pesawat Air China, salah satu penerbangan domestik terbesar di negara itu, yang juga memiliki penerbangan internasional. Jarak antara Guangzhou ke Beijing akan ditempuh sekitar 3 jam dan 10 menit.

Harga tiket reguler dari Guangzhou ke Beijing sekitar USD 250 atau sekitar 2,4juta rupiah. Tapi aku hanya membayar 380 Yuan atau kurang lebih 500 ribu rupiah saja. Aku benar benar sangat beruntung, dapat menikmati penerbangan di kelas ekonomi dengan pelayanan istimewa dari armada penerbangan sekelas China Air, dengan tiket berharga murah. Itulah enaknya, kalau sebuah perjalanan disiapkan dari jauh jauh hari dan penuh perencanaan. 

(Bersambung...)

6 comments:

  1. kerenn om glen. banyak pengalaman nih jalan2 k luar negri hehehe

    ReplyDelete
  2. Thank You. Tunggu bagian keduanya yah... supaya tau murahnya OK...

    ReplyDelete
  3. kereeenn...tumben disini lu menjiwai hehehehe :p
    kpn ya gw ngurus paspor bwt berpetualang sendiri??? xixixiixi :p

    ReplyDelete
  4. Glen ....kok bisa bayar tiket 380 yuan .....???? ayo ajarin aku .... guangzhou beijing ....

    ReplyDelete
  5. Heiii salam kenal.aku jg pengen bgt ke beijing :( rencana maret 2015 mau ke hongkong dan mau ke beijing jg tp msh bingung soal transportasi nya. Kok km bisa dpg tiket 500rb ke beijing? Mau juga dong :( kalo kereta yg dr hongkong ke guangzhou selalu ada ya? kirim ke email aku dong
    Natalia.ester.92@gmail.com

    ReplyDelete
  6. Sebagai bekas koloni Portugis, memang bangunan tua di Makau ini sepertinya sangat diperhatikan yaa perawatannya Mas. Kalo boleh mau sharing juga pengalaman waktu saya travelling kesana

    https://ceritanggita.blogspot.co.id/2017/10/macau-di-bulan-maret.html

    Siapa tau ada yang sedang mencari referensi

    ReplyDelete