Friday, May 27, 2011

MENUNAIKAN MIMPI DI TEMBOK CHINA (BAGIAN PERTAMA)

The Great Wall
Menapakkan kaki di The Great Wall atau Tembok China adalah mimpi masa kecilku yang tak pernah terfikir bisa terwujud. Siapa sangka, mimpi itu justru mengantarkan kakiku berdiri di atas angkuhnya bangunan batu, yang konon terlihat hingga di permukaan Bulan itu.

Keinginan untuk melihat Tembok China secara langsung dengan mata kepala sendiri, seperti tak henti hentinya membayangiku. Ketika aku masih kanak kanak, China terasa begitu jauh, bahkan mungkin menjadi hal yang mustahil untuk aku bisa sampai kesana. Apalagi aku hanya tinggal di sebuah kampung yang bahkan dari ibukota saja sangat terasa jauhnya.

Tapi bukankah tekad adalah tiket pertama untuk mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan ? Barangkali juga karena sejak kecil aku sering mendengar di pelajaran agama, bahwa belajarlah sampai ke negeri Cina, yang membuatku ingin tahu banyak tentang negara itu. Entah ada apa di negara itu, sehingga belajar saja harus jauh jauh kesana. Belajar dalam hal ini pastinya bukan belajar seperti di sekolah, tapi aku yakin ada sesuatu di negara itu yang layak kita jadikan sebagai pelajaran.

Dua tahun aku menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilanku, untuk bisa mewujudkan impianku melihat tembok Cina bahkan kalau mungkin menyentuhnya. Hingga akhirnya pada pertengahan tahun 2007, tekadku untuk berangkat ke China, benar benar sudah tidak bisa terbendung lagi.

The Venetian of Macau
Persiapanku sudah cukup. Hampir setahun aku mempelajari Buku Lonely Planet tentang seluk beluk China. Buku setebal 1200 halaman itu sudah kulahap habis tiap halamannya. Saking seringnya membaca buku itu, jauh hari sebelum berangkat ke China, aku merasa sudah cukup menguasai negara itu, mulai dari transportasi, rute, budaya, hingga akomodasi disana.

Beberapa bulan sebelum berangkat aku mulai menyusun rute, termasuk membandingkan jarak dan harga tiket yang paling murah. Aku memilih berangkat pada bulan Maret 2008, tepat menjelang akhir musim dingin di negara itu. Kebetulan pada bulan itu, harga tiket domestik di China lumayan murah dibanding bulan bulan lain. Menariknya lagi, cuaca pada bulan Maret, cukup bersahabat.

Rute yang aku pilih adalah Jakarta ke Kualalumpur dengan harga tiket hanya Rp. 280.000 dan  Kualalumpur ke Macau dengan tarif Rp. 340.000. Penerbangan tarif rendah yang betul betul sangat murah meriah. Dari Macau aku akan melanjutkan perjalanan menyeberang dengan Ferry ke Hongkong. Selanjutnya dari Hongkong aku akan menempuh perjalanan dengan kereta api ke Guangzhou (Mainland of China) dari Guangzhou baru deh naik pesawat lagi ke Beijing.

Macau
Dua bulan sebelum berangkat, aku sudah sibuk menyiapkan perlengkapan pakaian musim dingin, seperti jaket tebal, sweater, pakaian dalam longjhon, penutup kepala (kupluk), sal bulu, sampai kaos tangan wol. Semua perlengkapan musim dingin itu sudah memenuhi separuh tas ranselku yang lumayan besar.

Waktu yang aku tunggu tunggu pun akhirnya tiba, tepat di awal Maret. Untuk kesekian kalinya aku akan melakukan perjalanan traveling sendiri tanpa teman dan hanya bermodalkan pengetahuan dan rasa penasaran, dan kali ini tujuanku adalah ke China, negeri impian. Hari masih gelap ketika aku meluncur ke bandara, karena aku akan berangkat dengan penerbangan pertama ke Kualalumpur.

Dua jam kemudian, aku tiba di Kualalumpur artinya ada rentang waktu sekitar 12 jam untuk menunggu penerbangan ke Macau. Maklum resiko memilih tiket penerbangan murah, berarti kita harus mengikuti jadwal yang tidak bisa kita atur sesuka kita, seperti halnya membeli tiket reguler. Dua belas jam tentunya cukup lama jika hanya dihabiskan di bandara, tapi apa boleh buat sudah resiko, lagian bosan jalan jalan lagi di Kualalumpur. Maka istrahat, tidur dan makan aku lakukan di bandara.

Akhirnya penerbanganku ke Macau berangkat tepat waktu. Hampir empat jam aku mengarungi langit yang gelap, karena saat itu pesawat yang menerbangkan aku ke Macau berangkat pukul 9 malam. Sekitar pukul 00.50 menit, pesawat mendarat dengan sempurna di Macau International Airport di Macau. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Macau, namun karena cukup banyak mempelajari bekas koloni Portugis itu, aku jadi merasa sangat akrab dengan kota ini.

Berhubung sudah larut malam, aku memilih untuk tidur di bandara. Kebetulan ada beberapa turis backpacker yang juga beristrahat di bandara yang tidak begitu besar itu. Cuaca dingin di Macau malam itu menusuk hingga ke tulang. Kalau tidak salah suhunya sekitar 14 derajat celcius. Aku memilih merebahkan tubuhku di sudut yang sedikit hangat di dalam bandara, memakai kupluk, dua lapis sweater dan tidur dalam keadaan bersepatu.

Memanggul ransel seberat 18 kilogram seharian, lumayan membuat tubuhku terlelap dengan cepat. Apalagi lampu di beberapa ruangan di bandara itu sudah mulai diredupkan, karena aktifitas di bandara Macau sudah terhenti sejak pukul 2 dini hari, sehingga suasana lumayan tenang untuk beristrahat.

Hongkong
Esok paginya, setelah cuci muka, gosok gigi dan ganti baju di toilet bandara, aku langsung berangkat menuju Macau Ferry Terminal dengan naik bus AP1, tapi aku sempat mampir juga di beberapa tempat sekadar berfoto. Aku sengaja meninggalkan Macau menuju Hongkong sedikit lebih awal agar antrian di pelabuhan tidak begitu panjang. Kursi kursi dalam bis yang aku tumpangi pun masih banyak kosong.

Pukul 10 waktu setempat, aku tiba di Hongkong. Biasanya hanya butuh waktu 1 jam menyeberang dari Macau ke Hongkong. Tapi karena saat itu cuaca berkabut di atas perairan yang memisahkan Hongkong dan Macau, maka aku baru tiba di Hongkong Ferry Terminal Tsim Tsa Tsui, Kowloon, sekitar 1,5 jam kemudian. Aku segera menuju Keswick Street, tidak jauh dari Konsulat Indonesia. Di sekitar kawasan ini terdapat beberapa hotel murah. Murah di Hongkong berarti ratenya di bawah 500ribu rupiah/malam.

Keesokan harinya, setelah sempat berjalan jalan beberapa jam di Hongkong, sorenya aku langsung memanggul ransel besarku menuju Hung Hom Rail Station. Dari Hung Hom, aku akan melanjutkan perjalanan menuju Shenzhen dan Guangzhou, dua kota yang terletak di Propinsi Guangdong, bagian wilayah China daratan yang paling dekat dengan Hongkong. Untuk masuk ke wilayah Mainland China, kita harus sudah memiliki visa masuk, sebelum meninggalkan Indonesia.

Hung Hom, Railway Station @ Hongkong
Perjalanan dengan kereta api dari Hongkong ke Guangzhou memakan waktu 2,5 jam. Jaraknya kurang lebih 340 Kilometer. Berbeda dengan kereta api di Indonesia, kereta yang menghubungkan Hongkong dan China daratan, jauh lebih tinggi, karena terdiri dari dua lantai penumpang. Di setiap gerbong dilengkapi dengan tempat untuk meletakkan bagasi sehingga kereta terasa jauh lebih lapang dan lebih hening.

Jam 8 malam aku tiba di East Railway Station di Guangzhou. Malam itu aku akan bermalam di kota Industri itu untuk melanjutkan penerbangan dengan pesawat domestik esok pagi menuju Beijing. Jarak dari East Railway menuju ke tengah kota, sekitar 5 kilometer. Jalur terbaik untuk sampai ke kota adalah dengan MRT Metro Guangzhou. Tidak sampai 20 menit aku sudah sampai di tengah kota.

Satu hal yang selalu menjadi kendala bagi para turis yang berangkat ke China, adalah masalah bahasa. Hanya segelintir orang di daratan China yang bisa berbahasa Inggris. Untuk itu, kemampuan berbahasa Mandarin, sangat dibutuhkan disini, minimal bisa bertanya, mengerti angka, dan percakapan sehari hari. Beruntung, jaman kuliah dulu aku sempat kursus Bahasa Mandarin, walaupun hanya sampai level dua. Tapi paling tidak aku bisa berkomunikasi.

Cuaca di Guangzhou jauh lebih dingin daripada di Hongkong. Pada puncak musim dingin suhu disini bisa mencapai 10 derajat celcius. Malam itu suhu di Guangzhou sekitar 12 derajat celcius. Lumayan dingin, apalagi perut sudah mulai bergolak karena rasa lapar yang tidak tertahankan.

Tiba di East Railway Station @ Guangzhou
Malam itu aku menginap tidak jauh dari Beijing Lu (Beijing Road), kawasan shopping paling tersohor di Guangzhou. Aku sedikit kesulitan tidur, karena tak sabar rasanya menunggu pagi dan ingin cepat cepat sampai di Beijing. Selain ke Great Wall, satu hal yang seumur hidup belum pernah aku lihat adalah salju. Kalau aku beruntung, mungkin aku masih bisa menikmati Salju terakhir menjelang musim semi di ibu kota Republik Rakyat China itu.

Akhirnya, pagi pagi sekali di bawah hujan gerimis sedingin es, dan mulut masih mengepulkan asap karena udara yang dingin, aku berlari kecil sambil menggendong ransel menuju halte bis. Aku naik bis menuju salah satu hotel besar, yang di depannya biasa digunakan sebagai halte shuttle bus menuju bandara. Menurut yang aku baca, jarak ke Baiyun Airport ditempuh sekitar 1 jam. Itu artinya bandara lumayan jauh dari pusat kota.

Baiyun International Airport of Guangzhou
Untung pagi pagi sekali aku sudah berangkat menuju bandara. Perjalanan menikmati wajah Guangzhou sungguh menggairahkan. Aku seperti menemukan sebuah kehidupan yang benar benar baru. Orang tua dan anak anak kecil berjalan dan bermain di taman taman dan di pedesterian lebar yang membentang di tepian sungai. Guangzhou adalah kota pertama yang menyapaku di daratan China.

Tiga jam sebelum jadwal penerbangan, aku sudah duduk manis di Baiyun International Airport of Guangzhou. Untuk ukuran bandara domestik, bandara Baiyun boleh dikata sangatlah besar, bahkan lebih layak jadi bandara ibu kota negara. Aku yakin, Beijing akan jauh lebih mengagumkan dibanding Guangzhou.

Baiyun International Airport of Guangzhou
Menjelang pukul 11 waktu setempat, penumpang jurusan Beijing dipersilahkan masuk ke kabin pesawat. Aku menumpangi pesawat Air China, salah satu penerbangan domestik terbesar di negara itu, yang juga memiliki penerbangan internasional. Jarak antara Guangzhou ke Beijing akan ditempuh sekitar 3 jam dan 10 menit.

Harga tiket reguler dari Guangzhou ke Beijing sekitar USD 250 atau sekitar 2,4juta rupiah. Tapi aku hanya membayar 380 Yuan atau kurang lebih 500 ribu rupiah saja. Aku benar benar sangat beruntung, dapat menikmati penerbangan di kelas ekonomi dengan pelayanan istimewa dari armada penerbangan sekelas China Air, dengan tiket berharga murah. Itulah enaknya, kalau sebuah perjalanan disiapkan dari jauh jauh hari dan penuh perencanaan. 

(Bersambung...)

Monday, May 23, 2011

MENARA KEMBAR PETRONAS

Sejak diresmikan tahun 1998, rekor Menara Kembar Petronas sebagai bangunan tertinggi di dunia tidak terpecahkan hingga tahun 2004. Kedigdayaan, menara kembar ini baru runtuh setelah hadirnya Taiwan 101, yang menggeser posisi Petronas. Namun, untuk ukuran menara kembar, sampai saat ini, Petronas masih mengukuhkan dirinya sebagai yang tertinggi di dunia.


Menara Petronas didesain oleh Cesar Pelli dari Argentina, dan menelan masa 7 tahun untuk menyelesaikannya. Menara ini didirikan di atas bekas arena balap kuda di Kualalumpur. Pondasinya dibangun di kedalaman 120 meter, yang saat itu juga menjadi pondasi terdalam di dunia. Untuk menyelesaikan pondasinya saja memakan waktu 12 bulan sebelum bagian atasnya dibangun.


Menara setinggi 88 lantai itu atau 452 meter itu, dibuat dari baja bertulang dengan konsep bangunan yang terinspirasi dari seni bangunan Islam, yang dimaksudkan sebagai cerminan wajah Islam yang moderat di Malaysia. Untuk menyelesaikan dua menara itu, Pemerintah Kerajaan Malaysia mempercayakan pada dua kontraktor pelaksana. Menara 1 dikerjakan oleh Hazama Corporation yang merupakan konsorsium dari Jepang, sedangkan menara kedua dikerjakan oleh Samsung, Kukdong Enginering dari Korea.


Di lantai dasar bangunan ini terdapat pusat perbelanjaan Suria KLCC, yang terbesar di Malaysia. Selain pusat perbelanjaan dan perkantoran, Menara Kembar Petronas juga dikelilingi Taman seluas 69.000 meter persegi. Di sekitar taman terdapat jogging track, taman rekreasi, air mancur yang dihiasi berbagai warna lampu dan taman bermain anak anak. 


Kedua menara itu dihubungkan dengan jembatan di udara, di tingkat 41 dan 42, sehingga menjadi jembatan tertinggi di dunia. Jika diukur dari permukaan tanah, jembatan itu tingginya 170 meter, dengan panjang 58 meter dari menara 1 ke menara 2, dengan berat 750 ton. Jembatan ini dapat dilintasi oleh masyarakat awam secara cuma cuma alias tidak dipungut bayaran, dengan catatan harus mengambil tiket terbatas hanya untuk 1700 orang setiap hari.


Sejak tahun 1998, Menara Kembar Petronas, menjadi salah satu daya tarik wisata di Malaysia. Ribuan pengunjung hampir setiap hari datang dan mengagumi keindahan arsitektur bangunan yang didominasi warna Perak ini.***(ahsan andi husain)

Saturday, May 21, 2011

CHIANG MAI & CHIANGRAI, THAILAND YANG BERBEDA

Suvarnabhumi International Airport of Bangkok
Langit masih menyisakan sedikit mendung di bandara Suvarnabhumi sore itu, setelah nyaris seharian penuh kota Bangkok diguyur hujan deras dan kadang gerimis. Namun, kesibukan salah satu bandara terindah di dunia itu, sama sekali tidak berkurang. Penumpang yang datang dan berangkat hampir sama banyaknya. Begitu juga dengan pesawat yang mendarat dan dan terbang, pun tak kalah ramainya.

Satu jam sebelum jadwal keberangkatan, aku sudah berjalan menuju ruang tunggu. Waktu satu jam, tentu bukan waktu yang panjang ketika kita berada di bandara nan futuristik ini. Setiap sudut bandara Suvarnabhumi dibuat dengan sangat detil dan teliti. Unsur seni dan teknologi tinggi dicangkokkan dalam pembangunan bandara yang konon hampir membuat negara gajah putih itu diambang bangkrut.

Tapi terlepas dari semua itu, kehadiran bandara yang didominasi warna silver dan putih ini, seakan membuka mata para turis, bahwa Thailand sudah menyapa para pelancong sejak menginjakkan kakinya di bandara Suvarnabhumi. Sawadee Krap, inilah Thailand, surga bagi para wisatawan, negeri yang ramah dan murah senyum.

Tak terasa, para penumpang tujuan Chiangmai dipersilahkan masuk ke pesawat. Aku segera meraih tas ranselku dan menggendongnya untuk antri bersama penumpang lain, menuju pintu pesawat. Hari ini untuk kesekian kalinya aku melakukan perjalanan wisata sendiri. Ada keasyikan dan kenikmatan tersendiri yang aku rasakan setiap kali melakukan traveling tanpa teman.

Hot Spring at Mae Kha Jang
Perjalanan ke Chiangmai akan memakan waktu sekitar 50 menit. Ini adalah kedua kalinya aku ke Utara Thailand tapi baru kali pertama aku naik pesawat kesana. Setahun sebelumnya, aku naik bis dari Bangkok sampai ke propinsi di utara Thailand itu, dengan menempuh perjalanan lebih dari 700 kilometer.

Menjelang matahari terbenam, pesawat kami mendarat di Chiangmai. Aku langsung mengambil taxi menuju hotel yang sudah aku pesan sebelumnya melalui internet. Hotel yang aku pesan tidak begitu mahal, selain karena sudah pesan jauh jauh hari, juga karena hotelnya tidaklah begitu besar. Tarif permalam hanya 750 Baht atau kurang lebih Rp. 225.000.

Sepanjang perjalanan dari bandara, taxi yang aku tumpangi melewati tepi Sungai Ping, sungai yang membelah Kota Chiang Mai. Sepanjang jalan berdiri wat wat (Pagoda) yang menjadi ciri khas Thailand. Restoran restoran berjejer rapi di tepian sungai dengan lampu lampunya yang mulai menyala. Chiang Mai memang berbeda dengan Bangkok. Kotanya lebih tenang, santai, romantis dan yang pasti tidak semacet Bangkok.

Chiang Mai adalah sebuah kota kuno, yang dulunya merupakan ibukota dari Kerajaan Lanna pada tahun 1296. Bangunan bangunan tua yang masih terawat, bisa dijumpai di seputar Chiang Mai. Keberadaan bangunan bangunan bersejara diantara bangunan bangunan modern, memberi warna tersendiri bagi Kota terbesar kedua di Thailand itu.

Wat Rong Khun at Chiang Rai
Perjalanan menuju Thanon Tha Phae (Tha Phae Road), alamat hotel tempat aku menginap tidaklah begitu jauh dari bandara. Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di hotel itu. Aku bergegas chek in, masuk ke kamar dan mandi. Tak sabar rasanya ingin menyusuri Chiang Mai di waktu malam. Aku sengaja memilih hotel di Tha Phae, karena cukup berjalan kaki, kita sudah sampai ke Night Bazar yang sangat ramai di malam hari.

Dengan perut yang sudah mulai berkecamuk karena lapar, aku bergegas menuju pasar malam. Segelas Ice Thai Tea, dan semangkuk besar Tom Yum Kung dan nasi putih, menjadi teman makan malamku. Malam itu, aku habiskan di sekitar night bazar, menyaksikan live music dan mencicipi berbagai penganan khas Thailand Utara. Malam itu, aku buru buru pulang, karena esok harinya aku akan sudah memesan paket tour, berkeliling Thailand Utara.

Wat Rong Khun at Chiang Rai
Pukul 06.00 pagi, seluruh rombongan yang jumlahnya hanya 10 orang sudah berkumpul di depan hotel. Hanya aku sendiri yang berwajah Melayu, selebihnya adalah bule dan seorang perempuan Vietnam paruh baya, yang tidak lain adalah isteri dari salah peserta tour hari itu.

Pagi itu kami akan melakukan perjalanan panjang sehari penuh menuju Chiangrai, Mae Sae, Laos, perbatasan Myanmar hingga ke Golden Triangle, perbatasan empat negara, Thailand, Myanmar, China dan Laos. Perjalanan ke wilayah paling utara Thailand itu kami dipandu seorang tour guide yang fasih berbahasa Inggris, namanya Chakrit.

Golden Triangle
Thailand bagian Utara memang berbeda dengan Bangkok dan sekitarnya, hijau, dan udaranya masih sejuk, bahkan sangat dingin di bulan November hingga Februari. Suhunya bisa mencapai 10 hingga 14 derajat celcius. Namun karena saat itu bulan Juli, cuaca panasnya tidak berbeda dengan bagian lain negara itu. Destinasi pertama yang kami singgahi pagi itu adalah Hot Spring di Mae Khajang, atau sumur air panas, yang letaknya 30 kilometer arah utara Chiang Mai. Disini terlihat banyak pedagan yang menjajakan telor ayam dan telor puyuh, hasil rebusan dari sumur yang menggelegak karena panasnya.

Uniknya, sumur yang lebarnya hanya 2 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter itu terletak di tepi sungai yang airnya sejuk, dan di sekitarnya adalah hutan yang masih hijau. Selain sumur utama, juga terdapat banyak sumur sumur kecil yang airnya juga mengepulkan asap panas.

Dari Hotspring, perjalanan di lanjutkan ke Chiangrai. Seperti umumnya daerah daerah di Thailand, sepanjang perjalanan kita selalu menjumpai banyak wat atau pagoda. Salah satu yang kami kunjungi siang itu adalah Wat Rong Khun. Pagoda ini berbeda dari pagoda pagoda yang biasa dijumpai di Bangkok. Warnanya tidak dominan kuning emas, tapi putih perak. 

Mekhong River
Wat berwarna putih perak itu tergolong pagoda modern yang usianya belum sampai 20 tahun. Di bagian luar dan arsitektur di dalamnya dipenuhi ornamen ornamen yang dibuat dengan sangat detil, oleh seorang pelukis terkenal di Thailand yang mengabdikan seluruh hidup dan hartanya untuk membangun Wat itu. Kabarnya dia menghabiskan seluruh hartanya sebagai baktinya pada Raja dan Budha.

Orang Thailand terkenal memang sangat mencintai rajanya. Bahkan kedudukan Raja hampir sama agungnya dengan Budha, agama mayoritas di Thailand. Saking cintanya pada Raja, setiap kali Raja ulang tahun, seluruh rakyat tanpa pandang bulu sengaja memakai baju kuning setiap hari. Kuning adalah warna kerajaan di Thailand.

Budha On River
Tepat jam 12 siang, kami sampai di tepi sungai Mekhong, tepatnya di Golden Triangle. Kami langsung naik perahu kecil, yang sangat laju menyusuri keruhnya air sungai terpanjang kesepuluh di dunia. Tak sampai satu jam dari tempat kami berangkat, kami sampai ke Paradise, sebuah pusat perjudian (Casino) yang masuk dalam wilayan negara Myanmar. Para penjudi berbagai negara, konon sering mengadu peruntungan disini. Sayang, pengunjung tidak diijinkan masuk ke Paradise.

Dari Paradise kami menuju Laos. Perjalanan menyeberangi sungai yang sangat dalam dan lebar itu, melewati Budha on River, sebuah patung Budha di atas bukit di sebuah daratan yang menjorok membentuk tanjung di atas Sungai Mekhong. Patung Budha itu terlihat sangat menonjol dan bisa tampak dengan sangat jelas dari seberang Sungai.

Hanya 30 menit kemudian, kami memasuki wilayah Laos, sebuah perkampungan kecil di tepi sungai yang sangat mirip dengan kehidupan desa di Indonesia. Bahasa yang digunakan masyarakat Laos, meski terdengar mirip, tapi sebetulnya sangat berbeda dengan bahasa Thai, termasuk tulisannya.

Bocah Suku Karen di perbatasan Thailand & Myanmar
Beberapa jam di Golden Triangle, kami mengunjungi Hall of Opium, sebuah museum multimedia, yang memperlihatkan dengan jelas, masa masa jaya perkebunan opium terbesar di dunia pada masanya. Sisa sisa bekas perkebunan itu pun masih terlihat dengan jelas. Namun, tentu saja saat ini bukan pohon pohon opium yang kita temui, tapi bunga aneka warna dengan jalan yang meliuk liuk penuh belokan di kaki kaki bukit.

Di bekas perkebunan Opium ini kita bisa bisa menyaksikan sebuah taman yang indah bernama Doi Tung, tempat Ibu Suri beristrahat. Pemandangan luar biasa indahnya bisa terlihat dengan jelas disini. Bunga bunga yang mekar dan segar, tumbuh rapi di tempat yang diapit bukit bukit hijau itu. Tempat ini memang benar benar cocok untuk peristrahatan.

Matahari sudah semakin tinggi, perut pun tak sabar untuk diisi. Sebelum menuju tujuan berikutnya, yaitu Mae Sae, kami mampir makan siang di sebuah restoran. Makanan Thailand Utara disajikan disini. Banyak perbedaan kuliner di Bangkok dan Chiang Mai. Makanan disini, tidak terlalu asam seperti halnya di Bangkok, namun dominasi rasa pedas dan keberanian bumbunya hampir sama saja.

Gadis Karen penjual Souvenir
Selepas makan siang, kami langsung meluncur ke kota Mae Sai, tepatnya diperbatasan Myanmar. Kita boleh masuk Myanmar, tapi harap maklum disini penjagaan lumayan ketat, karena saat itu Myanmar termasuk wilayah yang kadang kadang masih bergolak. Makanya banyak warga Myanmar yang ngungsi ke hutan hutan di perbatasan. Untuk masuk ke wilayah Myanmar, kita harus membayar 500 Baht, kira kira setara dengan 150 ribu rupiah.

Sekitar pukul 16.00, kami dan rombongan bergerak menuju Long Neck Village di distrik Thaton masih di wilayah Mae Sai. Lumayan jauh masuk ke pelosok. Rasa penasaranku pada orang orang berleher jenjang ini, sebentar lagi akan terjawab dan terlihat dengan mata kepala sendiri. Tiga puluh menit perjalanan ditambah jalan kaki sejauh 2 kilometer, kami pun sampai ke perkampungan itu.

Anak kecil perempuan, semua memakai kalung logam yang konon beratnya bisa mencapai 5 kilogram. Aku sempat mengajak ngobrol beberapa anak suku Karen yang sedang bermain lompat tali. Rasa penasaranku yang tadinya ingin melihat langsung kehidupan mereka, tiba tiba berubah jadi iba. Tak tega rasanya melihat bocah bocah itu harus memikul beban yang begitu berat di lehernya. Untuk menoleh saja terlihat sangat susah. Bahkan ada yang menyelipkan kain diantara gulungan tembaga kuning itu, karena kulitnya sudah mulai lecet.

Wanita Suku Karen Sedang Menenun
Selain anak anak yang bermain, juga terlihat wanita tua dengan leher panjang yang sibuk menenun di atas dipan di bawah kolong rumah. Sedangkan gadis gadis cantiknya, sibuk menjajakan hasil kerajinan tangan mereka. Dengan bahasa yang sulit dimengerti, mereka menawarkan souvenir, patung kecil dan kain kain tenunan khas Suku Karen. Menurut kepercayaan mereka, pemakaian lingkaran tembaga di leher, selain untuk keindahan, juga karena ada unsur mistik dibaliknya.

Kunjung kami ke kampung masyarakat terasing itu mengakhiri perjalanan kami sehari penuh. Capek juga ternyata. Menjelang malam kami kembali ke Chiang Mai melalui jalan yang berbeda ketika berangkat. Sekitar jam 10 malam, akhirnya kami sampai juga di Chiang Mai. Esok harinya, aku check out dan berpindah ke Chiang Rai, kota yang lebih kecil dibanding Chiang Mai.

Perbatasan Thailand & Myanmar
Suasana pedesaan masih sangat terasa di Chiangrai, hanya beberapa kilometer berjalan kaki. Untuk melepaskan lelah dan pegal selepas perjalanan seharian penuh kemarin, aku sengaja mencari spa yang banyak bertebaran di Chiangrai dan Chiang Mai. Thai Massage di kedua kota ini, tentunya jauh lebih murah dibanding Bangkok. Aku pun tertidur, ketika seluruh tubuhku dibaluri minyak dan dipijat dari ujung kepala sampai ujung rambut.

Chiang Mai & Chiangrai, budaya dan alamnya benar benar pesona yang menggetarkan hati untuk sekali lagi mengunjungi dan menyibak kehidupannya yang unik.*** (Ahsan Andi Husain/Juli 2007)

Thursday, May 19, 2011

MANILA, DUA SISI WAJAH KOTA

Salah satu sudut kota Manila
Kamis Sore (8/5/2008) pukul 14.20 Waktu Malaysia, aku bertolak dari Kota Kinabalu, menuju Bandara Diosdado Macapagal International Airport di Clark, Propinsi Pampanga sebelah utara Manila. Jaraknya sekitar 100 KM dari Manila, ibu kota Philipine. Penerbangan dari Kota Kinabalu menuju Clark ditempuh selama 2 jam. Cuaca sangat cerah saat meninggalkan Kinabalu. Namun begitu sampai di atas Palawan Island (Philipine) cuaca tiba tiba berubah jadi gelap.

Pesawat yang aku tumpangi bersama 147 penumpang lainnya, sempat terguncang dahsyat. Ya, kami mengalami turbulance hampir 20 menit tanpa jeda. Cuaca saat itu benar benar tidak bersahabat, dua kali pesawat anjlok ke bawah, dua sampai tiga meter. Guncangannya mampu membuat dua penutup cabin bagasi di atas kepala penumpang, terbuka dengan keras.

Penumpang yang sebagian adalah tenaga kerja Philippine yang mengadu nasib di Kota Kinabalu dan Brunai, tak henti hentinya berdoa. Bahkan tidak sedikit yang menjerit dan menangis. Pramugari pun tak bosan bosannya mengumumkan melalui pengeras suara agar penumpang tidak panik, tapi ketegangan justru semakin merasuk, bercampur dengan rasa takut.

Kejadian menegangkan itu membuat keringat dingin di seluruh tubuhku seperti dipaksa keluar. Aku memasrahkan hidupku pada sang pemilik hidup. Aku mengangkat kedua telapak kakiku yang dingin seperti membeku, agar tidak rapat di lantai pesawat, supaya tidak begitu merasakan guncangan keras. Alhamdulillah lumayan membantu.

Menit demi menit menegangkan itu berjalan sangat lama. Hingga langit gelap disertai petir dan hujan itu pelan pelan berubah menjadi cerah. Sinar matahari yang dari tadi bersembunyi entah kemana, mulai menyeruak menembus awan tebal yang kian lama mulai menipis.

Akhirnya, setelah 2 jam di udara, pesawat kami mendarat dengan sempurna di Bandara Diosdado Macapagal, Clark. Dari Clark aku langsung naik bis, yang sudah antri di depan airport. Tarif perorang 300 Pesos, atau sekitar 80 ribu rupiah untuk jarak kurang lebih seperti Jakarta ke Padalarang, Jawa Barat. Perjalanan menuju Manila melalui jalan tol ditempuh sekitar 2 jam. Menjelang masuk ke kota Manila, jalanan terlihat mulai padat, sesak, nyaris tidak ada bedanya dengan Jakarta. Hujan deras yang mengguyur kota Manila, membuat lalu lintas semakin tersendat. Aku turun di Bus Station, Pasay City agak ke Selatan kota Manila.

Karena hujan tak kunjung berhenti, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di salah satu hotel bertarif 870 Pesos atau setara dengan 230 ribu. Sudah lumayan untuk melupakan sejenak cuaca buruk sepanjang perjalanan. Kamarku di lengkapi TV 14 inch. Sembari merebahka tubuh, iseng iseng nyalain TV, dan wow ternyata TV Kabel di Manila dilengkapi dengan 2 channel bokep full XXX, satu channel Asia dan satu channel Western. Puyeng dan bete juga lama lama melototin mata di channel itu. Malam itu aku tidak bisa menikmati Pasay City, apalagi ke Metro Manila, yang jaraknya sekitar 10 KM dari Pasay. Hujan deras membuyarkan rencanaku, belum lagi membayangkan jalanan macet sampai tengah malam.

Keesokan paginya, aku langsung check out dari hotel, menuju hotel yang lebih ‘beradab’. Dipikiranku karena hotel itu dilengkapi  channel bokep, mungkin hotel itu tempat esek esek, serem juga. Akhirnya aku memilih pergi jauh jauh dari Pasay City. Aku pindah ke Malate, distrik lain di kota Manila. Aku mencari hotel di daerah Mabini Street, yang letaknya dekat dengan Manila Bay dan Roxas Boulevard. 


Hotelnya lumayan lebih besar, sekelas bintang 3, tapi ternyata sama aja. Saluran TV nya tetap dilengkapi dengan dua channel bokep. Usut punya usut, siaran film biru di Philippine ternyata bukan barang tabu dengan kata lain bukan hal ilegal di negara ini. Berarti bukan alasan untuk aku pindah hotel lagi. Toh bejat tidaknya tergantung orangnya toh.

Pilihanku kali ini tepat, karena kawasan Mabini merupakan salah satu pusat dunia malam di Manila. Gogo Girl, Penari Telanjang, hingga gadis gadis cantik nan seksi yang membuka lebar kedua kakinya, bisa dijumpai dengan mudah disini. Tapi bukan itu yang aku cari, aku hanya mencari tempat yang nyaman, dekat dari mana mana, dan banyak tempat yang bisa dikunjungi. Setelah check in, aku langsung mandi dan mulai menyusuri kota Manila.

Jadwalku hari ini adalah membereskan tugas ke Production House 'Manila Broadcasting Company (MBC)', di Makati City, pusat Kota Manila. Setelahnya aku jalan jalan ke Ayala Mall, salah satu mall terbesar yang ada di Manila. Saking besarnya, aku sempat nyasar dibuatnya, hanya gara gara aku keluar di exit gate yang berbeda. Aku masuk dari Ayala Avenidos (Ayala Avenue) eh begitu keluar, nyasar ke jalan lain, terpaksa muter keliling mal itu. Wuih pegel juga.

Makati Grand Parade
Sore harinya, jadwalku agak lowong, dan kuiisi dengan menonton pertunjukan Makati Grand Parade, yang merupakan rangkaian perayaan puncak ulang tahun Makati City. Konon aku baca di Koran pagi itu, Makati Grand Parade merupakan salah satu perade terbesar di dunia setelah Rio Parade di Rio De Jeneiro, Brazil. Ternyata memang benar benar memukau. Jalanan utama di distrik Makati dan sepanjang jalan utama di kota Manila ditutup total untuk acara itu. Parade Bunga, tarian tradisional, busana warna warni, musik yang hingar bingar menjadi daya tarik parade ini. Ribuan orang dan turis asing menyesaki tepi jalan sepanjang kota Manila.

Beruntung, aku sudah berada di depan gedung Philipine Stock Exchange, yang megah itu sebelum acara parade di mulai, sehingga saat pengunjung mulai sesak, aku sudah berada di barisan paling depan penonton, hehehe. I love this show.

Menjelang matahari terbenam, aku langsung buru buru pulang. Kalau tidak, sekali terjebak macet di Manila, bakalan tengah malam baru nyampe hotel, secara dari Makati ke Malate, jalannya sangat padat. Menjelang jam 5 sore adalah puncak kemacetan di Manila, itu artinya mencari taxi di kota Megapolitan ini sama susahnya seperti di Jakarta. Cukup lama aku menunggu taxi kosong tapi tak kunjung ketemu, semua penuh, sementara di sudut lain orang orang mulai berdesak desakan menunggu bis, Jeepney (kendaraan khas di Manila, sejenis Jeep yang dimodifikasi jadi angkutan orang).  

Jalan satu satunya agar aku bisa kembali ke hotel adalah naik bis, minimal menuju tempat terdekat ke Malate. Tanpa bantuan peta, dan Bahasa Tagalog yang sepotong sepotong, aku terpaksa mencari arah bis menuju Malate. Berkat petunjuk seorang ibu, yang bahasa Inggrisnya lumayan bagus (dibanding orang orang yang aku tanya sebelumnya), akhirnya aku turun di sudut sebuah jalan, di depan Seven Eleven, terus perjalanan dilanjutkan dengan Jeepney yang melalui Mabini Street. Sampe deh ke hotel.

Transportasi di Manila lumayan murah. Naik bis cukup 10 Pesos atau sekitar Rp. 2700. Naik Taxi pun murah, dari Roxas Boulevard selama 1 jam perjalanan, argonya Cuma 80an Pesos. Artinya nggak nyampe 25 ribu kan ? Bandingkan dengan Jakarta atau Singapura. Naik Jeepney  tidak kalah murahnya, berkisar antara 10 Pesos sampai 15 Pesos, tergantung jauh dekatnya, atau kira kira Rp. 2700 – Rp. 3500.

Roxas Boulevard
Keesokan paginya, beberapa saat setelah matahari terbit, berjalan jalan ke Roxas Boulevard adalah pilihan tepat. Pedestrian yang lebar, membuat jalanan utama di tepi pantai Teluk Manila ini menjadi area jogging track dan jalur bersepada bagi orang orang di Manila. Orang tua jompo asyik duduk duduk sembari memandang pantai, bercengkerama dengan anak dan cucunya.

Di sore hari, pemandangan yang sama juga bisa dijumpai disini. Anak anak jalanan berlompatan ke laut dari tebing di bibir pantai, tanpa rasa takut. Anak anak itu rupanya sudah terbiasa bermain di laut Teluk Manila, yang airnya tidak begitu bening itu.

Silahkan pilih, harga tercantum seperti tiket pesawat
Lain siang, lain lagi dengan malam. Pemandangan malam di Manila, terasa sedikit 'gerah', sepanas kehidupan bebasnya yang menggeliat di setiap sudut kota. Roxas Boulevard yang begitu ramah sepajang pagi hingga sore, di waktu malam, sontak berubah menjadi kawasan hiburan tanpa batas. Cewek dan cowok berpasangan, memadu kasih. Bukan hal yang tabu melihat para ABG berciuman bibir bahkan saling meluapkan gairahnya di tempat terbuka. Manila, adalah kota terbuka, masyarakatnya bersahabat dekat dengan kehidupan bebas.

Malate, Mabini dan Makati, di malam hari seperti berubah menjadi kawasan 'pasar malam' bagi laki laki hidung belang. Berjalan jalanlah di tiga kawasan itu, denyut nadi dengan dentuman musik berbagai aliran, seakan berpadu dengan gairah yang semakin hidup. Cewek cewek cantik berbagai usia berdiri di pinggir jalan, menyapa manja setiap laki laki yang lewat. Bahkan tidak sedikit tempat semacam salon, yang memajang gadis gadis di dalam etalase, mereka meliuk liukkan tubuhnya dengan gaya sensual. Di deretan lain, foto foto para wanita penghibur dipajang, lengkap dengan tarifnya. Ini bukan kawasan lokalisasi, tapi inilah wajah Manila di malam hari.

Anak Anak di Manila Bay, Roxas Boulevard
Namun dibalik kehidupan malamnya yang liar, Manila adalah surga wisata reliji, khususnya bagi penganut Kristiani. Penduduk Manila dan Philippine umumnya, yang mayoritas Katolik, sangat taat menjalankan agamanya. Di hari Sabtu dan Minggu, banyak warga, utamanya orang orang tua, yang meninggalkan kegiatannya demi seharian penuh beraktifitas di gereja, 'melayani' Tuhan. Mereka seakan tidak terpengaruh dengan sisi gelap kota tercintanya.

Seperti halnya kota kota besar di Philippine, Manila adalah kota seribu gereja. Berbagai gereja tua peninggalan Spanyol terjaga dengan baik di kota ini, tak lekang dengan hadirnya gereja gereja modern dan besar. Gereja gereja Katolik berusia ratusan tahun pun masih kokoh berdiri, salah satunya adalah Church of Malate di Malate tidak jauh dari Boulevard.

Church of Malate, tua tapi terawat
Aku sempat mengunjungi beberapa gereja Katolik, termasuk sebuah gereja sekte Kristen terkecil di Manila, yaitu ‘Iglesia Ni Christo’. Gerejanya berwarna putih, usianya mungkin belum genap dua puluh tahun, terbaca dari catnya yang masih baru, dan bangunannya yang modern. Wajar jika kita menemukan gereja hampir di setiap sudut kota Manila, karena mayoritas penduduk negara ini adalah penganut Katolik Roma, sisanya Islam di bagian Selatan dan sedikit Protestan, Budha dan Hindu.

Tak lengkap rasanya, ke Manila tanpa mencicipi makanan khas ala negara yang bertetangga dengan Sulawesi Utara dan Sabah itu. Kuliner di Manila, dan di Philippine pada umumnya, merupakan perpaduan kuliner Western dan Eastern. Pernah dijajah selama 300 tahun oleh bangsa Spanyol membuat makanan di Manila cenderung ke barat baratan. Namun, banyak juga makanan tradisional yang sangat Asia Tenggara banget, bersantan, pedas dan berkuah.

Lima hari di Manila, rasanya tak cukup untuk bisa menggoda lidah dengan berbagai makanan khas negara itu, apalagi mengunjungi banyak tempat menarik di kota megapolitan itu. Lain waktu, mungkin harus meluangkan lebih banyak masa lagi di Manila. ***(san)

Wednesday, May 18, 2011

‘MERETAS TANAH RENCONG, DI SARANG GAM’

(Sebuah catatan liputan di Sarang GAM, 12 September 2004)
Catatan perjalanan liputanku ke Sarang GAM di Aceh, ternyata masih ada di blogdrive. Pengalaman paling menegangkan sepanjang, perjalanan karirku sebagai wartawan cetak.

Pukul 07.50 WIB, pesawat Jatayu Airlines yang membawa saya dari Bandara Polonia Medan, mendarat di lapangan udara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Nanggroe aceh Darussalam. Tidak ada perasaan gentar sedikit pun ketika telapak kaki saya menyentuh bumi rencong itu. Namun begitu saya keluar dari pintu bandara, puluhan tentara dan Brimob berlalu lalang dengan senjata laras panjang.

Masjid Baiturrahman, Banda Aceh
Di beberapa sudut tampak panser yang dibiarkan berteduh dibawa pohon. Setiap penumpang yang baru saja turun dari pesawat diperiksa dengan seksama, termasuk saya. sebuah pintu detektor ternyata tidak cukup, kami juga digeledah. Perasaan takut saya yang sebelumnya hampir tidak ada, tiba-tiba menyeruak dari jantungku. Kejadian demi kejadian yang banyak diberitakan di Aceh seperti muncul di depan mata saya. Perlengkapan saya yang tidak cukup (tanpa surat tugas) membuat petugas menahan saya. Apalagi setelah mereka tahu tujuan saya termasuk dalam daftar daerah paling rawan di Aceh.

Saya ngotot agar tetap bisa berangkat ke Langsa dan Peureulak demi tugas. Namun, petugas tidak kalah ngototnya, saya tidak diijinkan menuju daerah itu dari Banda Aceh. Selain jauh, petugas juga tidak memberikan jaminan keamanan pada saya. Akhirnya saya menyerah. Petugas menyarankan saya kembali ke Medan dan melanjutkan perjalanan dari ibu kota Sumatera Utara itu. Alasannya selain jarak tempuhnya yang lebih dekat juga relatif lebih aman dibanding harus melalui jalur Banda Aceh-Langsa.

Untung saja dua puluh menit setelah saya 'dideportasi' masih ada pesawat yang akan berangkat ke Medan. Saya segera membeli tiket. Petugas loket pun melayani saya dengan tergesa-gesa karena bagian boarding sudah selesai melayani penumpang. Lima menit lagi saya berada di loket itu mungkin saya akan tertinggal pesawat dan terpaksa menunggu sore hari.

Tidak ada yang ada dipikiran saya hari itu selain harus menunaikan tugas saya dengan baik dan sesuai jadwal deadline yang membuat saya nyaris tak bisa bernapas panjang. Niat saya melihat Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang kabarnya megah itu pun pupus sudah. Pukul 08.25 WIB saya kembali ke Polonia dan tiba disana sekitar pukul 09. 15 WIB.

Dengan tergesa-gesa tanpa sempat sarapan karena waktu deadline yang semakin sempit saya mencarter mobil arah Langsa. Kabarnya bisa sampai lebih cepat, kurang lebih 3 jam dibanding naik bis yang bisa mencapai 4-5 jam. Sepanjang perjalanan menuju Langsa, perasaan saya tidak pernah tenang. Apalagi begitu kami sampai di perbatasan Aceh-Sumatera Utara.

Setiap bis yang melalui tempat itu wajib berhenti. Tanda pengenal mereka diperiksa. Warga Aceh harus menunjukkan tanda pengenal merah putih berbentuk paspor kecil. Saya sendiri mengeluarkan KTP Jakarta saya. Akibatnya saya dicegat dan diperintahkan turun oleh polisi militer bersenjata lengkap.    Saya dibawa ke pos penjagaan, seluruh barang saya digeledah termasuk kamera dan tape recorder diteliti dengan detil.

Saat saya menunjukkan kartu pers, mereka meminta surat jalan saya. "Mau kemana kamu," bentak salah seorang petugas. "Mau ke Langsa, pak," kata saya. "Kenapa tidak bawa surat jalan ? nama kamu tidak saya catat disini jadi kalau ada apa-apa petugas tidak bertanggung jawab karena kamu tidak bawa surat jalan. Berani kamu jalan ?," kata petugas bagian pencatatan.  Meski lutut saya sudah gemetar, saya dengan tegas menjawab, "berani, pak," ujarku. "Ya sudah, silahkan jalan," katanya lagi. Dengan senang hati saya pun kembali melanjutkan perjalanan. Namun sepanjang jalan saya terngiang-ngiang ucapan petugas tadi. Apa benar Aceh seseram itu ? pikirku.

Sepanjang perjalanan, saya perhatikan wilayah Aceh yang subur, di kanan kiri penuh dengan hamparan sawah menghijau dan kebun kelapa sawit. Menjelang siang kami sampai di Kuala Simpang. Konon tidak jauh dari kota kecil itu terdapat gunung yang juga dijadikan markas GAM. Setelah sempat tertidur, sekitar pukul 13.00 WIB, saya sampai di Langsa. Saya langsung menuju RSUD Langsa. Saat itu saya sedang melakukan peliputan bom malam tahun baru di Peureulak yang menawaskan belasan orang. Konon pelakunya adalah anggota GAM.

Setelah memastikan korban masih berada disana saya pun makan siang. Sembari berbincang-bincang dengan beberapa karyawan rumah sakit, saya menanyakan tujuan saya berikutnya. Setiap kali saya menanyakan daerah itu, setiap kali pula orang meminta saya untuk mengurungkan niat kesana. Sopir mobil yang saya carter rupanya gentar, sehingga tidak bersedia mengantar saya ke Peureulak. Tapi tekad saya sudah bulat. Saya harus sampai disana sebelum jam 15.00. Pasalnya setelah magrib kota itu akan sepi dan sepanjang perjalanan yang ditempuh sekitar 1 jam sangat rawan.

Pertengahan Desember lalu, sebuah bis yang melintas di jalan itu diberondong senapan dan menewaskan sopir dan kondekturnya, begitu cerita yang saya dengar. Antara pasrah dan ikhlas menjalankan tugas peliputan, saya berusaha untuk tidak memasukkan dalam hati cerita orang orang Aceh itu. Di pikiran saya waktu itu, hanya tertancap filsafat hidup orang Bugis ‘De’na labu essoe, ri tengngana bittara’e’ yang artinya ‘tidak akan terbenam matahari di tengah langit’ maknanya ajal itu tidak akan tiba sebelum waktunya, maka jangan pernah turunkan layarmu jika sudah berniat utk membelah lautan.

Saya lantas mencari sepeda motor carteran, tapi tak satu pun yang bersedia. Akhirnya saya ke terminal dan menawar setiap mobil colt (mini bus) yang akan berangkat kesana untuk saya carter. Setelah beberapa kali menawar akhirnya saya bertemu sopir yang kebetulan adalah warga asli Peureulak.   

Saya pun berangkat. Sepanjang jalan tampak suasana lengang. Beberapa perkampungan yang saya lewati seperti kota mati yang ditinggal penghuninya. Rumah rumah kosong dan rusak. Pemandangan itu diselang-selingi dengan tentara dan brimob yang bergerombol di pinggir jalan. Sebagian ada juga yang bersembunyi di balik pondok-pondok yang dipagari karung pasir.

Dari bali karung-karung itu menyembul senapan mesin. Sementara disamping gubuk beberapa tank dan panser ditutupi dengan daun kelapa sawit. Benar-benar darurat militer. Semakin mendekat ke Peureulak, suasana semakin menakutkan. Tentara semakin banyak. Bahkan colt yang saya tumpangi sempat dihentikan karena beberapa truk bermuatan berkompi-kompi tentara sedang lewat.

Tiba di Peureulak saya langsung melaksanakan tugas saya. Saya ke TKP terlebih dahulu. Sebelum mengambil gambar saya minta ijin dulu ke petugas. Kebetulan saat itu Danramil sedang meninjau lokasi. Salah seorang anak buahnya sempat menegur saya. "Kamu sama siapa kesini," tanyanya. "Sendiri, pak," jawabku. "Sendiri !!!, berani sekali kau masuk kesini, mau cari mati," katanya bernada tinggi.

"Nggak pak, saya cuma sebentar, ada liputan," kataku lagi. "Ya udah, habis itu lebih baik kau balik sebelum malam. Nanti kamu bisa jadi Ersa (reporter RCTI yang tewas saat meliput di Aceh) kedua, kalau kamu diculik terus ditembak, nanti tentara lagi yang dituduh," hardiknya. Kalimat itu tidak saja menakutkan tapi juga membuat nyali saya hampir padam. Tapi demi deadline, tekad saya sudah bulat.

Seperti permintaan petugas itu, saya berhasil menyelesaikan liputan saya sekitar pukul 17.00 WIB. Saya langsung kembali ke Langsa. Sayang, disana tidak ada warnet untuk mengirim berita. Jangankan warnet, wartel saja sudah tutup setelah jam 6. Pilihan saya satu-satunya harus kembali ke Medan, dengan transportasi apa adanya.

Saya mengejar deadline malam itu juga, berita saya harus sudah masuk ke meja redaktur paling lama jam 2 malam. Naik turun bis, ganti angkot, ganti mini bas, akhirnya sampai juga di Graha Pena Medan. Saya langsung mengerjakan tugas dengan sisa sisa tenaga yang lelah sehari berjalan. Syukur saya bisa melewati jam deadline dengan selamat. Keesokan harinya untuk menghilangkan penat, saya menikmati dua hari jalan jalan di medan. Thanks God. (Ahsan Andi Husain/2004)