Wednesday, May 18, 2011

‘MERETAS TANAH RENCONG, DI SARANG GAM’

(Sebuah catatan liputan di Sarang GAM, 12 September 2004)
Catatan perjalanan liputanku ke Sarang GAM di Aceh, ternyata masih ada di blogdrive. Pengalaman paling menegangkan sepanjang, perjalanan karirku sebagai wartawan cetak.

Pukul 07.50 WIB, pesawat Jatayu Airlines yang membawa saya dari Bandara Polonia Medan, mendarat di lapangan udara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Nanggroe aceh Darussalam. Tidak ada perasaan gentar sedikit pun ketika telapak kaki saya menyentuh bumi rencong itu. Namun begitu saya keluar dari pintu bandara, puluhan tentara dan Brimob berlalu lalang dengan senjata laras panjang.

Masjid Baiturrahman, Banda Aceh
Di beberapa sudut tampak panser yang dibiarkan berteduh dibawa pohon. Setiap penumpang yang baru saja turun dari pesawat diperiksa dengan seksama, termasuk saya. sebuah pintu detektor ternyata tidak cukup, kami juga digeledah. Perasaan takut saya yang sebelumnya hampir tidak ada, tiba-tiba menyeruak dari jantungku. Kejadian demi kejadian yang banyak diberitakan di Aceh seperti muncul di depan mata saya. Perlengkapan saya yang tidak cukup (tanpa surat tugas) membuat petugas menahan saya. Apalagi setelah mereka tahu tujuan saya termasuk dalam daftar daerah paling rawan di Aceh.

Saya ngotot agar tetap bisa berangkat ke Langsa dan Peureulak demi tugas. Namun, petugas tidak kalah ngototnya, saya tidak diijinkan menuju daerah itu dari Banda Aceh. Selain jauh, petugas juga tidak memberikan jaminan keamanan pada saya. Akhirnya saya menyerah. Petugas menyarankan saya kembali ke Medan dan melanjutkan perjalanan dari ibu kota Sumatera Utara itu. Alasannya selain jarak tempuhnya yang lebih dekat juga relatif lebih aman dibanding harus melalui jalur Banda Aceh-Langsa.

Untung saja dua puluh menit setelah saya 'dideportasi' masih ada pesawat yang akan berangkat ke Medan. Saya segera membeli tiket. Petugas loket pun melayani saya dengan tergesa-gesa karena bagian boarding sudah selesai melayani penumpang. Lima menit lagi saya berada di loket itu mungkin saya akan tertinggal pesawat dan terpaksa menunggu sore hari.

Tidak ada yang ada dipikiran saya hari itu selain harus menunaikan tugas saya dengan baik dan sesuai jadwal deadline yang membuat saya nyaris tak bisa bernapas panjang. Niat saya melihat Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang kabarnya megah itu pun pupus sudah. Pukul 08.25 WIB saya kembali ke Polonia dan tiba disana sekitar pukul 09. 15 WIB.

Dengan tergesa-gesa tanpa sempat sarapan karena waktu deadline yang semakin sempit saya mencarter mobil arah Langsa. Kabarnya bisa sampai lebih cepat, kurang lebih 3 jam dibanding naik bis yang bisa mencapai 4-5 jam. Sepanjang perjalanan menuju Langsa, perasaan saya tidak pernah tenang. Apalagi begitu kami sampai di perbatasan Aceh-Sumatera Utara.

Setiap bis yang melalui tempat itu wajib berhenti. Tanda pengenal mereka diperiksa. Warga Aceh harus menunjukkan tanda pengenal merah putih berbentuk paspor kecil. Saya sendiri mengeluarkan KTP Jakarta saya. Akibatnya saya dicegat dan diperintahkan turun oleh polisi militer bersenjata lengkap.    Saya dibawa ke pos penjagaan, seluruh barang saya digeledah termasuk kamera dan tape recorder diteliti dengan detil.

Saat saya menunjukkan kartu pers, mereka meminta surat jalan saya. "Mau kemana kamu," bentak salah seorang petugas. "Mau ke Langsa, pak," kata saya. "Kenapa tidak bawa surat jalan ? nama kamu tidak saya catat disini jadi kalau ada apa-apa petugas tidak bertanggung jawab karena kamu tidak bawa surat jalan. Berani kamu jalan ?," kata petugas bagian pencatatan.  Meski lutut saya sudah gemetar, saya dengan tegas menjawab, "berani, pak," ujarku. "Ya sudah, silahkan jalan," katanya lagi. Dengan senang hati saya pun kembali melanjutkan perjalanan. Namun sepanjang jalan saya terngiang-ngiang ucapan petugas tadi. Apa benar Aceh seseram itu ? pikirku.

Sepanjang perjalanan, saya perhatikan wilayah Aceh yang subur, di kanan kiri penuh dengan hamparan sawah menghijau dan kebun kelapa sawit. Menjelang siang kami sampai di Kuala Simpang. Konon tidak jauh dari kota kecil itu terdapat gunung yang juga dijadikan markas GAM. Setelah sempat tertidur, sekitar pukul 13.00 WIB, saya sampai di Langsa. Saya langsung menuju RSUD Langsa. Saat itu saya sedang melakukan peliputan bom malam tahun baru di Peureulak yang menawaskan belasan orang. Konon pelakunya adalah anggota GAM.

Setelah memastikan korban masih berada disana saya pun makan siang. Sembari berbincang-bincang dengan beberapa karyawan rumah sakit, saya menanyakan tujuan saya berikutnya. Setiap kali saya menanyakan daerah itu, setiap kali pula orang meminta saya untuk mengurungkan niat kesana. Sopir mobil yang saya carter rupanya gentar, sehingga tidak bersedia mengantar saya ke Peureulak. Tapi tekad saya sudah bulat. Saya harus sampai disana sebelum jam 15.00. Pasalnya setelah magrib kota itu akan sepi dan sepanjang perjalanan yang ditempuh sekitar 1 jam sangat rawan.

Pertengahan Desember lalu, sebuah bis yang melintas di jalan itu diberondong senapan dan menewaskan sopir dan kondekturnya, begitu cerita yang saya dengar. Antara pasrah dan ikhlas menjalankan tugas peliputan, saya berusaha untuk tidak memasukkan dalam hati cerita orang orang Aceh itu. Di pikiran saya waktu itu, hanya tertancap filsafat hidup orang Bugis ‘De’na labu essoe, ri tengngana bittara’e’ yang artinya ‘tidak akan terbenam matahari di tengah langit’ maknanya ajal itu tidak akan tiba sebelum waktunya, maka jangan pernah turunkan layarmu jika sudah berniat utk membelah lautan.

Saya lantas mencari sepeda motor carteran, tapi tak satu pun yang bersedia. Akhirnya saya ke terminal dan menawar setiap mobil colt (mini bus) yang akan berangkat kesana untuk saya carter. Setelah beberapa kali menawar akhirnya saya bertemu sopir yang kebetulan adalah warga asli Peureulak.   

Saya pun berangkat. Sepanjang jalan tampak suasana lengang. Beberapa perkampungan yang saya lewati seperti kota mati yang ditinggal penghuninya. Rumah rumah kosong dan rusak. Pemandangan itu diselang-selingi dengan tentara dan brimob yang bergerombol di pinggir jalan. Sebagian ada juga yang bersembunyi di balik pondok-pondok yang dipagari karung pasir.

Dari bali karung-karung itu menyembul senapan mesin. Sementara disamping gubuk beberapa tank dan panser ditutupi dengan daun kelapa sawit. Benar-benar darurat militer. Semakin mendekat ke Peureulak, suasana semakin menakutkan. Tentara semakin banyak. Bahkan colt yang saya tumpangi sempat dihentikan karena beberapa truk bermuatan berkompi-kompi tentara sedang lewat.

Tiba di Peureulak saya langsung melaksanakan tugas saya. Saya ke TKP terlebih dahulu. Sebelum mengambil gambar saya minta ijin dulu ke petugas. Kebetulan saat itu Danramil sedang meninjau lokasi. Salah seorang anak buahnya sempat menegur saya. "Kamu sama siapa kesini," tanyanya. "Sendiri, pak," jawabku. "Sendiri !!!, berani sekali kau masuk kesini, mau cari mati," katanya bernada tinggi.

"Nggak pak, saya cuma sebentar, ada liputan," kataku lagi. "Ya udah, habis itu lebih baik kau balik sebelum malam. Nanti kamu bisa jadi Ersa (reporter RCTI yang tewas saat meliput di Aceh) kedua, kalau kamu diculik terus ditembak, nanti tentara lagi yang dituduh," hardiknya. Kalimat itu tidak saja menakutkan tapi juga membuat nyali saya hampir padam. Tapi demi deadline, tekad saya sudah bulat.

Seperti permintaan petugas itu, saya berhasil menyelesaikan liputan saya sekitar pukul 17.00 WIB. Saya langsung kembali ke Langsa. Sayang, disana tidak ada warnet untuk mengirim berita. Jangankan warnet, wartel saja sudah tutup setelah jam 6. Pilihan saya satu-satunya harus kembali ke Medan, dengan transportasi apa adanya.

Saya mengejar deadline malam itu juga, berita saya harus sudah masuk ke meja redaktur paling lama jam 2 malam. Naik turun bis, ganti angkot, ganti mini bas, akhirnya sampai juga di Graha Pena Medan. Saya langsung mengerjakan tugas dengan sisa sisa tenaga yang lelah sehari berjalan. Syukur saya bisa melewati jam deadline dengan selamat. Keesokan harinya untuk menghilangkan penat, saya menikmati dua hari jalan jalan di medan. Thanks God. (Ahsan Andi Husain/2004)

No comments:

Post a Comment