Wednesday, May 18, 2011

SEBUAH PELAJARAN DARI MALAYSIA

Pertama kali aku ke Malaysia tahun 2001. Saat itu aku masuk ke negara jiran itu melalui Batam lanjut ke Singapura lalu menyeberang ke Johor. Maklum, waktu itu belum ada pesawat low fare seperti sekarang. Kalau dihitung hitung 3 kali punya paspor, sudah lebih dari 20 stempel di ketiga pasporku yang bercap Malaysia dari berbagai pintu masuk dan keluar.

Penang Global City Center coming Soon in Penang
Melihat Johor Bahru (ibukota negara bagian Johor) saat itu, serupa tapi tak sama dengan salah satu sisi Jakarta, ada kawasan kumuh, ada kawasan wanita wanita ‘nakal’ alias wilayah merah, ada pasar tradisional dan pusat perbelanjaan megah. Sejak perjalanan pertama ke Malaysia itu, hampir tiada tahun tanpa aku ke Malaysia, bahkan pernah dalam sebulan dua kali aku kesana, pertama karena liburan, kedua karena liputan pernikahan Siti Nurhalizah.

Selama sepuluh tahun terakhir, aku paham banget perkembangan negara itu, mulai dari kualitas kehidupan sosialnya hingga pembangunan infrastrukturnya. Berbicara soal pembangunan, negara ini patut diacungi jempol. Hampir setiap kepemimpinan Pemerintahannya, selalu mengutamakan pemerataan pembangunan, dan menomorsatukan kepentingan rakyat.Tidak heran, pemerintah Kerajaan Malaysia sangat memperhatikan fasilitas fasilitas umum untuk rakyat, angkutan umum, fasilitas jalan raya, pedesterian, penghijauan, kesehatan, lapangan kerja, sampai keamanan publik.

Angkutan umum yang paling banyak digunakan di Malaysia adalah angkutan darat entah itu bas (bus), keretapi dan jalan raya, baik di Semenanjung maupun Malaysia Timur di Kalimantan.Sepuluh tahun lalu, LRT atau kereta angkutan massal di Kualalumpur hanya menyediakan layanan di tengah kota sampai ke pinggiran. Saat ini, LRT atau bernama MRT di Singapura, sudah menjangkau sampai wilayah luar bandar Kualalumpur. Kita sendiri masih bergelut selama puluhan tahun memikirkan angkutan massal yang tepat untuk Jakarta. Padahal andai saja sepuluh tahun lalu kita belajar ke Malaysia, mungkin Jakarta tidak akan semacet hari ini.

Saya tahu persis, kualitas jalan jalan raya di Semenanjung Malaysia dan Malaysia Timur di Pulau Kalimantan. Jika anda pernah melalui Jalur Pantura di Pulau Jawa (tidak usah jauh jauh dulu, cukup di Pulau Jawa) maka jelas terlihat betapa kontrasnya kualitas jalan ketika masih di wilayah Jakarta, hingga keluar tol di Cikampek, masuk ke Subang, Cirebon, Jawa Tengah sampai berujung di Jawa Timur.

Banyak jalan berlubang, banyak jalan yang dibangun, ditambal sana tambal sini. Sepuluh kilometer diperbaiki, sepuluh kilometer dibelakangnya sudah rusak lagi. Begitu seterusnya, alhasil sampai bertahun tahun, malah belasan tahun, pemerintah pusat dan daerah sibuk menambal sulam jalan yang tidak pernah sempurna dari ujung ke ujung. Kualitas tiap wilayah berbeda, tergantung tingkat korupsinya.

Empat kali aku menyusuri jalan darat di Malaysia, sekali dari Johor Bahru di Selatan sampai Perlis di Utara yang berbatasan dengan Thailand dan tiga kali dari Johor Bahru sampai di Bukit Kayu Hitam (Kedah), yang juga berbatasan dengan Thailand. Johor ke Perlis jaraknya sekitar 750 Kilometer. Johor ke Bukit Kayu Hitam (Kedah) jaraknya sekitar 680 Kilometer. Semua melalui jalan tol yang mulus tanpa tambalan, tanpa galian, dengan penerangan lampu gemerlap dari ujung hingga ujung. Mengendarai mobil di malam hari, tidak ubahnya seperti siang hari. Sama terangnya.

Bukan hanya jalan tol yang mulus, masuklah ke dalam kota di setiap negara bagian. Jalan jalan utama di Kota Baharu (Kelantan), Alor Setar (Kedah), Seremban (Negeri Sembilan), Melaka, Butterworth, Georgetown di Penang, Langkawi sampai Johor Bahru, kualitasnya sama persis dengan jalan jalan raya di Kualalumpur. Antara ibu kota negara dengan negara bagian di Semenanjung tidak terjadi penurunan kualitas jalan.

Kita berpindah ke Malaysia Timur, sudah dua kali aku masuk Sabah dan sekali ke Serawak. Jalan raya dan standar sosial kehidupan masyarakat di Kota Kinabalu, Miri, Sandakan, Tawau sampai Kuching di Serawak, nyaris tidak ada kesenjangan yang dalam dengan kehidupan sosial masyarakat di Semenanjung yang lebih cenderung Metropolis, maklum ibu kota negara terletak di Semenanjung dan butuh 2 jam untuk sampai ke Kuching (Serawak) dan 3 jam ke Kota Kinabalu (Sabah) dengan penerbangan dari Kualalumpur.

Bagaimana dengan kualitas jalan rayanya ? Lagi lagi sulit buat aku membedakan kualitas ketebalan aspal dan beton yang dipakai di Kualalumpur dan negara bagian lain. Sama sama tidak ada yang berlubang, sama sama tidak ada galian. Benar benar merata dan adil. Okelah, Semenanjung memang jauh lebih maju dari Sabah & Sarawak, itu juga disebabkan karena ketidakseimbangan jumlah penduduk. Tapi fasilitas, jangan salah, sama. Bus bus dari Kota Kinabalu ke Kuching, tidak ada bedanya dengan bus bus dari Johor Bahru ke Kualalumpur atau Kualalumpur ke Penang. Sama bagus, bersih dan terkontrol emisi buangannya.

Bukan bermaksud menyanjung nyanjung apa yang dimiliki negara tetangga, bukan juga mengintip rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri, tapi kalau mau maju tidak ada salahnya belajar, bagaimana menanam dan memelihara rumput supaya bisa lebih hijau kan ?

Malaysia memang memegang teguh pemerataan pembangunan, sejak dari pemerintahan Dato Husein Onn, Tun Abdul Razak, Mahathir Mohammad, hingga Dato Seri Najib Tun Razak, semua satu suara ‘Rakyat Didahulukan, Pencapaian Diutamakan’. Hasilnya, berkacalah ke Malaysia, pembangunannya merata, bangunan bangunan pencakar langit di Penang, hampir mengejar Kualalumpur. Begitu juga Johor. Menara KL yang tertinggi di Asia Tenggara, ternyata tertinggi keduanya ada di Alor Setar.

Menara kembar Petronas yang sempat menjadi yang tertinggi di dunia, dalam beberapa tahun ke depan akan punya teman yang tidak kalah tingginya, bukan di Kualalumpur, tapi di Penang.

Dari segi pembangunan infrastruktur di luar jalan raya, Malaysia lagi lagi sudah melesat jauh. Hampir tidak ada lagi daerah tertinggal. Awal awal masuk ke Johor, terasa banget perbedaan pembangunan wilayah itu dengan Singapura tetangganya. Pintu gerbang pemeriksaan imigrasinya terkesan kumuh, kecil dan semrawut, apalagi setelah melewati Woodlands, gerbang Singapura yang megah itu.

Tiga tahun terakhir, jika anda masuk Johor melalui Singapura, buka mata lebar lebar dan saksikan Johor sudah bersolek dengan cantiknya. Gedung gedungnya menjulang tinggi, dan Pintu Gerbang Imigrasi yang tadinya kumuh, kecil dan semrawut sekarang sudah berpindah ke Imigrasi Sultan Iskandar, yang jauh lebih megah dari Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta.

Alangkah bijaksananya pemerintah dan anggota dewan yang mengaku mewakili 200 juta lebih penduduk Indonesia belajar dan berkaca ke Malaysia. Tidak usahlah jauh jauh studi banding ke Eropa atau Amerika yang tidak jelas hasilnya. Tidak perlu studi banding ke Amerika Selatan yang hanya menghasilkan busway. Mungkin akan lebih dekat dan lebih murah studi banding ke Singapura atau Malaysia, sudah tampak kasat mata. Itu juga kalau kita mau buka mata, buka telinga, bukan bertarung gengsi.

Kita harus akui, dulu mungkin kita yang mengajari Malaysia membuat jalan tol, sekarang jalan tol di Malaysia panjangnya sudah hampir 2000 Kilometer. Kita yang membangun jalan tol lebih awal, harus cukup puas dengan panjang jalan tol yang 1000 kilometer aja belum nyampe.

So... Sekarang siapa yang harus belajar ke siapa ??

5 comments:

  1. Keren.....

    Miris memang melihat negara Indonesia, yang salah urus, dan selalu merasa 'lebih' dari Malaysia, padahal kondisi nyata dan terkini bertolakbelakang.

    ReplyDelete
  2. Sangat bermanfaat prihatin dengan kondisi negara saat ini

    ReplyDelete
  3. Sangat bermanfaat prihatin dengan kondisi negara saat ini

    ReplyDelete
  4. Datang kembali ke malaysia 2020, sudah mengunakan train laju, stesion train bawah tanah,.. semoga malaysia dan indonesia sama2 makmur dan maju

    ReplyDelete
  5. Teluk Melano dkt Tg. Datu akan dibina Jalanraya sepanjang 33KM dan akan siap pada tahun 2017. Diharap Pemerintah Indonesia membina jalan beraspal dan mulus dari Aruk ke Sambas dekat pintu masuk biawak.

    ReplyDelete