Saturday, May 21, 2011

CHIANG MAI & CHIANGRAI, THAILAND YANG BERBEDA

Suvarnabhumi International Airport of Bangkok
Langit masih menyisakan sedikit mendung di bandara Suvarnabhumi sore itu, setelah nyaris seharian penuh kota Bangkok diguyur hujan deras dan kadang gerimis. Namun, kesibukan salah satu bandara terindah di dunia itu, sama sekali tidak berkurang. Penumpang yang datang dan berangkat hampir sama banyaknya. Begitu juga dengan pesawat yang mendarat dan dan terbang, pun tak kalah ramainya.

Satu jam sebelum jadwal keberangkatan, aku sudah berjalan menuju ruang tunggu. Waktu satu jam, tentu bukan waktu yang panjang ketika kita berada di bandara nan futuristik ini. Setiap sudut bandara Suvarnabhumi dibuat dengan sangat detil dan teliti. Unsur seni dan teknologi tinggi dicangkokkan dalam pembangunan bandara yang konon hampir membuat negara gajah putih itu diambang bangkrut.

Tapi terlepas dari semua itu, kehadiran bandara yang didominasi warna silver dan putih ini, seakan membuka mata para turis, bahwa Thailand sudah menyapa para pelancong sejak menginjakkan kakinya di bandara Suvarnabhumi. Sawadee Krap, inilah Thailand, surga bagi para wisatawan, negeri yang ramah dan murah senyum.

Tak terasa, para penumpang tujuan Chiangmai dipersilahkan masuk ke pesawat. Aku segera meraih tas ranselku dan menggendongnya untuk antri bersama penumpang lain, menuju pintu pesawat. Hari ini untuk kesekian kalinya aku melakukan perjalanan wisata sendiri. Ada keasyikan dan kenikmatan tersendiri yang aku rasakan setiap kali melakukan traveling tanpa teman.

Hot Spring at Mae Kha Jang
Perjalanan ke Chiangmai akan memakan waktu sekitar 50 menit. Ini adalah kedua kalinya aku ke Utara Thailand tapi baru kali pertama aku naik pesawat kesana. Setahun sebelumnya, aku naik bis dari Bangkok sampai ke propinsi di utara Thailand itu, dengan menempuh perjalanan lebih dari 700 kilometer.

Menjelang matahari terbenam, pesawat kami mendarat di Chiangmai. Aku langsung mengambil taxi menuju hotel yang sudah aku pesan sebelumnya melalui internet. Hotel yang aku pesan tidak begitu mahal, selain karena sudah pesan jauh jauh hari, juga karena hotelnya tidaklah begitu besar. Tarif permalam hanya 750 Baht atau kurang lebih Rp. 225.000.

Sepanjang perjalanan dari bandara, taxi yang aku tumpangi melewati tepi Sungai Ping, sungai yang membelah Kota Chiang Mai. Sepanjang jalan berdiri wat wat (Pagoda) yang menjadi ciri khas Thailand. Restoran restoran berjejer rapi di tepian sungai dengan lampu lampunya yang mulai menyala. Chiang Mai memang berbeda dengan Bangkok. Kotanya lebih tenang, santai, romantis dan yang pasti tidak semacet Bangkok.

Chiang Mai adalah sebuah kota kuno, yang dulunya merupakan ibukota dari Kerajaan Lanna pada tahun 1296. Bangunan bangunan tua yang masih terawat, bisa dijumpai di seputar Chiang Mai. Keberadaan bangunan bangunan bersejara diantara bangunan bangunan modern, memberi warna tersendiri bagi Kota terbesar kedua di Thailand itu.

Wat Rong Khun at Chiang Rai
Perjalanan menuju Thanon Tha Phae (Tha Phae Road), alamat hotel tempat aku menginap tidaklah begitu jauh dari bandara. Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di hotel itu. Aku bergegas chek in, masuk ke kamar dan mandi. Tak sabar rasanya ingin menyusuri Chiang Mai di waktu malam. Aku sengaja memilih hotel di Tha Phae, karena cukup berjalan kaki, kita sudah sampai ke Night Bazar yang sangat ramai di malam hari.

Dengan perut yang sudah mulai berkecamuk karena lapar, aku bergegas menuju pasar malam. Segelas Ice Thai Tea, dan semangkuk besar Tom Yum Kung dan nasi putih, menjadi teman makan malamku. Malam itu, aku habiskan di sekitar night bazar, menyaksikan live music dan mencicipi berbagai penganan khas Thailand Utara. Malam itu, aku buru buru pulang, karena esok harinya aku akan sudah memesan paket tour, berkeliling Thailand Utara.

Wat Rong Khun at Chiang Rai
Pukul 06.00 pagi, seluruh rombongan yang jumlahnya hanya 10 orang sudah berkumpul di depan hotel. Hanya aku sendiri yang berwajah Melayu, selebihnya adalah bule dan seorang perempuan Vietnam paruh baya, yang tidak lain adalah isteri dari salah peserta tour hari itu.

Pagi itu kami akan melakukan perjalanan panjang sehari penuh menuju Chiangrai, Mae Sae, Laos, perbatasan Myanmar hingga ke Golden Triangle, perbatasan empat negara, Thailand, Myanmar, China dan Laos. Perjalanan ke wilayah paling utara Thailand itu kami dipandu seorang tour guide yang fasih berbahasa Inggris, namanya Chakrit.

Golden Triangle
Thailand bagian Utara memang berbeda dengan Bangkok dan sekitarnya, hijau, dan udaranya masih sejuk, bahkan sangat dingin di bulan November hingga Februari. Suhunya bisa mencapai 10 hingga 14 derajat celcius. Namun karena saat itu bulan Juli, cuaca panasnya tidak berbeda dengan bagian lain negara itu. Destinasi pertama yang kami singgahi pagi itu adalah Hot Spring di Mae Khajang, atau sumur air panas, yang letaknya 30 kilometer arah utara Chiang Mai. Disini terlihat banyak pedagan yang menjajakan telor ayam dan telor puyuh, hasil rebusan dari sumur yang menggelegak karena panasnya.

Uniknya, sumur yang lebarnya hanya 2 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter itu terletak di tepi sungai yang airnya sejuk, dan di sekitarnya adalah hutan yang masih hijau. Selain sumur utama, juga terdapat banyak sumur sumur kecil yang airnya juga mengepulkan asap panas.

Dari Hotspring, perjalanan di lanjutkan ke Chiangrai. Seperti umumnya daerah daerah di Thailand, sepanjang perjalanan kita selalu menjumpai banyak wat atau pagoda. Salah satu yang kami kunjungi siang itu adalah Wat Rong Khun. Pagoda ini berbeda dari pagoda pagoda yang biasa dijumpai di Bangkok. Warnanya tidak dominan kuning emas, tapi putih perak. 

Mekhong River
Wat berwarna putih perak itu tergolong pagoda modern yang usianya belum sampai 20 tahun. Di bagian luar dan arsitektur di dalamnya dipenuhi ornamen ornamen yang dibuat dengan sangat detil, oleh seorang pelukis terkenal di Thailand yang mengabdikan seluruh hidup dan hartanya untuk membangun Wat itu. Kabarnya dia menghabiskan seluruh hartanya sebagai baktinya pada Raja dan Budha.

Orang Thailand terkenal memang sangat mencintai rajanya. Bahkan kedudukan Raja hampir sama agungnya dengan Budha, agama mayoritas di Thailand. Saking cintanya pada Raja, setiap kali Raja ulang tahun, seluruh rakyat tanpa pandang bulu sengaja memakai baju kuning setiap hari. Kuning adalah warna kerajaan di Thailand.

Budha On River
Tepat jam 12 siang, kami sampai di tepi sungai Mekhong, tepatnya di Golden Triangle. Kami langsung naik perahu kecil, yang sangat laju menyusuri keruhnya air sungai terpanjang kesepuluh di dunia. Tak sampai satu jam dari tempat kami berangkat, kami sampai ke Paradise, sebuah pusat perjudian (Casino) yang masuk dalam wilayan negara Myanmar. Para penjudi berbagai negara, konon sering mengadu peruntungan disini. Sayang, pengunjung tidak diijinkan masuk ke Paradise.

Dari Paradise kami menuju Laos. Perjalanan menyeberangi sungai yang sangat dalam dan lebar itu, melewati Budha on River, sebuah patung Budha di atas bukit di sebuah daratan yang menjorok membentuk tanjung di atas Sungai Mekhong. Patung Budha itu terlihat sangat menonjol dan bisa tampak dengan sangat jelas dari seberang Sungai.

Hanya 30 menit kemudian, kami memasuki wilayah Laos, sebuah perkampungan kecil di tepi sungai yang sangat mirip dengan kehidupan desa di Indonesia. Bahasa yang digunakan masyarakat Laos, meski terdengar mirip, tapi sebetulnya sangat berbeda dengan bahasa Thai, termasuk tulisannya.

Bocah Suku Karen di perbatasan Thailand & Myanmar
Beberapa jam di Golden Triangle, kami mengunjungi Hall of Opium, sebuah museum multimedia, yang memperlihatkan dengan jelas, masa masa jaya perkebunan opium terbesar di dunia pada masanya. Sisa sisa bekas perkebunan itu pun masih terlihat dengan jelas. Namun, tentu saja saat ini bukan pohon pohon opium yang kita temui, tapi bunga aneka warna dengan jalan yang meliuk liuk penuh belokan di kaki kaki bukit.

Di bekas perkebunan Opium ini kita bisa bisa menyaksikan sebuah taman yang indah bernama Doi Tung, tempat Ibu Suri beristrahat. Pemandangan luar biasa indahnya bisa terlihat dengan jelas disini. Bunga bunga yang mekar dan segar, tumbuh rapi di tempat yang diapit bukit bukit hijau itu. Tempat ini memang benar benar cocok untuk peristrahatan.

Matahari sudah semakin tinggi, perut pun tak sabar untuk diisi. Sebelum menuju tujuan berikutnya, yaitu Mae Sae, kami mampir makan siang di sebuah restoran. Makanan Thailand Utara disajikan disini. Banyak perbedaan kuliner di Bangkok dan Chiang Mai. Makanan disini, tidak terlalu asam seperti halnya di Bangkok, namun dominasi rasa pedas dan keberanian bumbunya hampir sama saja.

Gadis Karen penjual Souvenir
Selepas makan siang, kami langsung meluncur ke kota Mae Sai, tepatnya diperbatasan Myanmar. Kita boleh masuk Myanmar, tapi harap maklum disini penjagaan lumayan ketat, karena saat itu Myanmar termasuk wilayah yang kadang kadang masih bergolak. Makanya banyak warga Myanmar yang ngungsi ke hutan hutan di perbatasan. Untuk masuk ke wilayah Myanmar, kita harus membayar 500 Baht, kira kira setara dengan 150 ribu rupiah.

Sekitar pukul 16.00, kami dan rombongan bergerak menuju Long Neck Village di distrik Thaton masih di wilayah Mae Sai. Lumayan jauh masuk ke pelosok. Rasa penasaranku pada orang orang berleher jenjang ini, sebentar lagi akan terjawab dan terlihat dengan mata kepala sendiri. Tiga puluh menit perjalanan ditambah jalan kaki sejauh 2 kilometer, kami pun sampai ke perkampungan itu.

Anak kecil perempuan, semua memakai kalung logam yang konon beratnya bisa mencapai 5 kilogram. Aku sempat mengajak ngobrol beberapa anak suku Karen yang sedang bermain lompat tali. Rasa penasaranku yang tadinya ingin melihat langsung kehidupan mereka, tiba tiba berubah jadi iba. Tak tega rasanya melihat bocah bocah itu harus memikul beban yang begitu berat di lehernya. Untuk menoleh saja terlihat sangat susah. Bahkan ada yang menyelipkan kain diantara gulungan tembaga kuning itu, karena kulitnya sudah mulai lecet.

Wanita Suku Karen Sedang Menenun
Selain anak anak yang bermain, juga terlihat wanita tua dengan leher panjang yang sibuk menenun di atas dipan di bawah kolong rumah. Sedangkan gadis gadis cantiknya, sibuk menjajakan hasil kerajinan tangan mereka. Dengan bahasa yang sulit dimengerti, mereka menawarkan souvenir, patung kecil dan kain kain tenunan khas Suku Karen. Menurut kepercayaan mereka, pemakaian lingkaran tembaga di leher, selain untuk keindahan, juga karena ada unsur mistik dibaliknya.

Kunjung kami ke kampung masyarakat terasing itu mengakhiri perjalanan kami sehari penuh. Capek juga ternyata. Menjelang malam kami kembali ke Chiang Mai melalui jalan yang berbeda ketika berangkat. Sekitar jam 10 malam, akhirnya kami sampai juga di Chiang Mai. Esok harinya, aku check out dan berpindah ke Chiang Rai, kota yang lebih kecil dibanding Chiang Mai.

Perbatasan Thailand & Myanmar
Suasana pedesaan masih sangat terasa di Chiangrai, hanya beberapa kilometer berjalan kaki. Untuk melepaskan lelah dan pegal selepas perjalanan seharian penuh kemarin, aku sengaja mencari spa yang banyak bertebaran di Chiangrai dan Chiang Mai. Thai Massage di kedua kota ini, tentunya jauh lebih murah dibanding Bangkok. Aku pun tertidur, ketika seluruh tubuhku dibaluri minyak dan dipijat dari ujung kepala sampai ujung rambut.

Chiang Mai & Chiangrai, budaya dan alamnya benar benar pesona yang menggetarkan hati untuk sekali lagi mengunjungi dan menyibak kehidupannya yang unik.*** (Ahsan Andi Husain/Juli 2007)

No comments:

Post a Comment