Thursday, May 19, 2011

MANILA, DUA SISI WAJAH KOTA

Salah satu sudut kota Manila
Kamis Sore (8/5/2008) pukul 14.20 Waktu Malaysia, aku bertolak dari Kota Kinabalu, menuju Bandara Diosdado Macapagal International Airport di Clark, Propinsi Pampanga sebelah utara Manila. Jaraknya sekitar 100 KM dari Manila, ibu kota Philipine. Penerbangan dari Kota Kinabalu menuju Clark ditempuh selama 2 jam. Cuaca sangat cerah saat meninggalkan Kinabalu. Namun begitu sampai di atas Palawan Island (Philipine) cuaca tiba tiba berubah jadi gelap.

Pesawat yang aku tumpangi bersama 147 penumpang lainnya, sempat terguncang dahsyat. Ya, kami mengalami turbulance hampir 20 menit tanpa jeda. Cuaca saat itu benar benar tidak bersahabat, dua kali pesawat anjlok ke bawah, dua sampai tiga meter. Guncangannya mampu membuat dua penutup cabin bagasi di atas kepala penumpang, terbuka dengan keras.

Penumpang yang sebagian adalah tenaga kerja Philippine yang mengadu nasib di Kota Kinabalu dan Brunai, tak henti hentinya berdoa. Bahkan tidak sedikit yang menjerit dan menangis. Pramugari pun tak bosan bosannya mengumumkan melalui pengeras suara agar penumpang tidak panik, tapi ketegangan justru semakin merasuk, bercampur dengan rasa takut.

Kejadian menegangkan itu membuat keringat dingin di seluruh tubuhku seperti dipaksa keluar. Aku memasrahkan hidupku pada sang pemilik hidup. Aku mengangkat kedua telapak kakiku yang dingin seperti membeku, agar tidak rapat di lantai pesawat, supaya tidak begitu merasakan guncangan keras. Alhamdulillah lumayan membantu.

Menit demi menit menegangkan itu berjalan sangat lama. Hingga langit gelap disertai petir dan hujan itu pelan pelan berubah menjadi cerah. Sinar matahari yang dari tadi bersembunyi entah kemana, mulai menyeruak menembus awan tebal yang kian lama mulai menipis.

Akhirnya, setelah 2 jam di udara, pesawat kami mendarat dengan sempurna di Bandara Diosdado Macapagal, Clark. Dari Clark aku langsung naik bis, yang sudah antri di depan airport. Tarif perorang 300 Pesos, atau sekitar 80 ribu rupiah untuk jarak kurang lebih seperti Jakarta ke Padalarang, Jawa Barat. Perjalanan menuju Manila melalui jalan tol ditempuh sekitar 2 jam. Menjelang masuk ke kota Manila, jalanan terlihat mulai padat, sesak, nyaris tidak ada bedanya dengan Jakarta. Hujan deras yang mengguyur kota Manila, membuat lalu lintas semakin tersendat. Aku turun di Bus Station, Pasay City agak ke Selatan kota Manila.

Karena hujan tak kunjung berhenti, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di salah satu hotel bertarif 870 Pesos atau setara dengan 230 ribu. Sudah lumayan untuk melupakan sejenak cuaca buruk sepanjang perjalanan. Kamarku di lengkapi TV 14 inch. Sembari merebahka tubuh, iseng iseng nyalain TV, dan wow ternyata TV Kabel di Manila dilengkapi dengan 2 channel bokep full XXX, satu channel Asia dan satu channel Western. Puyeng dan bete juga lama lama melototin mata di channel itu. Malam itu aku tidak bisa menikmati Pasay City, apalagi ke Metro Manila, yang jaraknya sekitar 10 KM dari Pasay. Hujan deras membuyarkan rencanaku, belum lagi membayangkan jalanan macet sampai tengah malam.

Keesokan paginya, aku langsung check out dari hotel, menuju hotel yang lebih ‘beradab’. Dipikiranku karena hotel itu dilengkapi  channel bokep, mungkin hotel itu tempat esek esek, serem juga. Akhirnya aku memilih pergi jauh jauh dari Pasay City. Aku pindah ke Malate, distrik lain di kota Manila. Aku mencari hotel di daerah Mabini Street, yang letaknya dekat dengan Manila Bay dan Roxas Boulevard. 


Hotelnya lumayan lebih besar, sekelas bintang 3, tapi ternyata sama aja. Saluran TV nya tetap dilengkapi dengan dua channel bokep. Usut punya usut, siaran film biru di Philippine ternyata bukan barang tabu dengan kata lain bukan hal ilegal di negara ini. Berarti bukan alasan untuk aku pindah hotel lagi. Toh bejat tidaknya tergantung orangnya toh.

Pilihanku kali ini tepat, karena kawasan Mabini merupakan salah satu pusat dunia malam di Manila. Gogo Girl, Penari Telanjang, hingga gadis gadis cantik nan seksi yang membuka lebar kedua kakinya, bisa dijumpai dengan mudah disini. Tapi bukan itu yang aku cari, aku hanya mencari tempat yang nyaman, dekat dari mana mana, dan banyak tempat yang bisa dikunjungi. Setelah check in, aku langsung mandi dan mulai menyusuri kota Manila.

Jadwalku hari ini adalah membereskan tugas ke Production House 'Manila Broadcasting Company (MBC)', di Makati City, pusat Kota Manila. Setelahnya aku jalan jalan ke Ayala Mall, salah satu mall terbesar yang ada di Manila. Saking besarnya, aku sempat nyasar dibuatnya, hanya gara gara aku keluar di exit gate yang berbeda. Aku masuk dari Ayala Avenidos (Ayala Avenue) eh begitu keluar, nyasar ke jalan lain, terpaksa muter keliling mal itu. Wuih pegel juga.

Makati Grand Parade
Sore harinya, jadwalku agak lowong, dan kuiisi dengan menonton pertunjukan Makati Grand Parade, yang merupakan rangkaian perayaan puncak ulang tahun Makati City. Konon aku baca di Koran pagi itu, Makati Grand Parade merupakan salah satu perade terbesar di dunia setelah Rio Parade di Rio De Jeneiro, Brazil. Ternyata memang benar benar memukau. Jalanan utama di distrik Makati dan sepanjang jalan utama di kota Manila ditutup total untuk acara itu. Parade Bunga, tarian tradisional, busana warna warni, musik yang hingar bingar menjadi daya tarik parade ini. Ribuan orang dan turis asing menyesaki tepi jalan sepanjang kota Manila.

Beruntung, aku sudah berada di depan gedung Philipine Stock Exchange, yang megah itu sebelum acara parade di mulai, sehingga saat pengunjung mulai sesak, aku sudah berada di barisan paling depan penonton, hehehe. I love this show.

Menjelang matahari terbenam, aku langsung buru buru pulang. Kalau tidak, sekali terjebak macet di Manila, bakalan tengah malam baru nyampe hotel, secara dari Makati ke Malate, jalannya sangat padat. Menjelang jam 5 sore adalah puncak kemacetan di Manila, itu artinya mencari taxi di kota Megapolitan ini sama susahnya seperti di Jakarta. Cukup lama aku menunggu taxi kosong tapi tak kunjung ketemu, semua penuh, sementara di sudut lain orang orang mulai berdesak desakan menunggu bis, Jeepney (kendaraan khas di Manila, sejenis Jeep yang dimodifikasi jadi angkutan orang).  

Jalan satu satunya agar aku bisa kembali ke hotel adalah naik bis, minimal menuju tempat terdekat ke Malate. Tanpa bantuan peta, dan Bahasa Tagalog yang sepotong sepotong, aku terpaksa mencari arah bis menuju Malate. Berkat petunjuk seorang ibu, yang bahasa Inggrisnya lumayan bagus (dibanding orang orang yang aku tanya sebelumnya), akhirnya aku turun di sudut sebuah jalan, di depan Seven Eleven, terus perjalanan dilanjutkan dengan Jeepney yang melalui Mabini Street. Sampe deh ke hotel.

Transportasi di Manila lumayan murah. Naik bis cukup 10 Pesos atau sekitar Rp. 2700. Naik Taxi pun murah, dari Roxas Boulevard selama 1 jam perjalanan, argonya Cuma 80an Pesos. Artinya nggak nyampe 25 ribu kan ? Bandingkan dengan Jakarta atau Singapura. Naik Jeepney  tidak kalah murahnya, berkisar antara 10 Pesos sampai 15 Pesos, tergantung jauh dekatnya, atau kira kira Rp. 2700 – Rp. 3500.

Roxas Boulevard
Keesokan paginya, beberapa saat setelah matahari terbit, berjalan jalan ke Roxas Boulevard adalah pilihan tepat. Pedestrian yang lebar, membuat jalanan utama di tepi pantai Teluk Manila ini menjadi area jogging track dan jalur bersepada bagi orang orang di Manila. Orang tua jompo asyik duduk duduk sembari memandang pantai, bercengkerama dengan anak dan cucunya.

Di sore hari, pemandangan yang sama juga bisa dijumpai disini. Anak anak jalanan berlompatan ke laut dari tebing di bibir pantai, tanpa rasa takut. Anak anak itu rupanya sudah terbiasa bermain di laut Teluk Manila, yang airnya tidak begitu bening itu.

Silahkan pilih, harga tercantum seperti tiket pesawat
Lain siang, lain lagi dengan malam. Pemandangan malam di Manila, terasa sedikit 'gerah', sepanas kehidupan bebasnya yang menggeliat di setiap sudut kota. Roxas Boulevard yang begitu ramah sepajang pagi hingga sore, di waktu malam, sontak berubah menjadi kawasan hiburan tanpa batas. Cewek dan cowok berpasangan, memadu kasih. Bukan hal yang tabu melihat para ABG berciuman bibir bahkan saling meluapkan gairahnya di tempat terbuka. Manila, adalah kota terbuka, masyarakatnya bersahabat dekat dengan kehidupan bebas.

Malate, Mabini dan Makati, di malam hari seperti berubah menjadi kawasan 'pasar malam' bagi laki laki hidung belang. Berjalan jalanlah di tiga kawasan itu, denyut nadi dengan dentuman musik berbagai aliran, seakan berpadu dengan gairah yang semakin hidup. Cewek cewek cantik berbagai usia berdiri di pinggir jalan, menyapa manja setiap laki laki yang lewat. Bahkan tidak sedikit tempat semacam salon, yang memajang gadis gadis di dalam etalase, mereka meliuk liukkan tubuhnya dengan gaya sensual. Di deretan lain, foto foto para wanita penghibur dipajang, lengkap dengan tarifnya. Ini bukan kawasan lokalisasi, tapi inilah wajah Manila di malam hari.

Anak Anak di Manila Bay, Roxas Boulevard
Namun dibalik kehidupan malamnya yang liar, Manila adalah surga wisata reliji, khususnya bagi penganut Kristiani. Penduduk Manila dan Philippine umumnya, yang mayoritas Katolik, sangat taat menjalankan agamanya. Di hari Sabtu dan Minggu, banyak warga, utamanya orang orang tua, yang meninggalkan kegiatannya demi seharian penuh beraktifitas di gereja, 'melayani' Tuhan. Mereka seakan tidak terpengaruh dengan sisi gelap kota tercintanya.

Seperti halnya kota kota besar di Philippine, Manila adalah kota seribu gereja. Berbagai gereja tua peninggalan Spanyol terjaga dengan baik di kota ini, tak lekang dengan hadirnya gereja gereja modern dan besar. Gereja gereja Katolik berusia ratusan tahun pun masih kokoh berdiri, salah satunya adalah Church of Malate di Malate tidak jauh dari Boulevard.

Church of Malate, tua tapi terawat
Aku sempat mengunjungi beberapa gereja Katolik, termasuk sebuah gereja sekte Kristen terkecil di Manila, yaitu ‘Iglesia Ni Christo’. Gerejanya berwarna putih, usianya mungkin belum genap dua puluh tahun, terbaca dari catnya yang masih baru, dan bangunannya yang modern. Wajar jika kita menemukan gereja hampir di setiap sudut kota Manila, karena mayoritas penduduk negara ini adalah penganut Katolik Roma, sisanya Islam di bagian Selatan dan sedikit Protestan, Budha dan Hindu.

Tak lengkap rasanya, ke Manila tanpa mencicipi makanan khas ala negara yang bertetangga dengan Sulawesi Utara dan Sabah itu. Kuliner di Manila, dan di Philippine pada umumnya, merupakan perpaduan kuliner Western dan Eastern. Pernah dijajah selama 300 tahun oleh bangsa Spanyol membuat makanan di Manila cenderung ke barat baratan. Namun, banyak juga makanan tradisional yang sangat Asia Tenggara banget, bersantan, pedas dan berkuah.

Lima hari di Manila, rasanya tak cukup untuk bisa menggoda lidah dengan berbagai makanan khas negara itu, apalagi mengunjungi banyak tempat menarik di kota megapolitan itu. Lain waktu, mungkin harus meluangkan lebih banyak masa lagi di Manila. ***(san)

3 comments:

  1. Andai saya punya uang banyak. ^^

    ReplyDelete
  2. Tidak harus bawa uang banyak mas, kalau mau kesana, asal dipersiapkan jauh jauh hari dan pinter pinter cari tiket dan rute yang murah meriah

    ReplyDelete
  3. Haha. . tapi saya msh mahasiswa dan tunabiaya

    ReplyDelete