Sunday, December 18, 2011

MY NEXT DESTINATION IN CHINA....

China, negeri penuh pesona. Alamnya bagai lukisan, landscapenya adalah karya agung dari Sang Maha Seni. China, negeri yang tak pernah membuatku ingin berhenti untuk menyusuri setiap lekuk buminya, pelosoknya, sudut kotanya hingga desa desanya yang terpencil. Meski selalu jalan sendiri, entah kenapa aku tidak pernah merasa terasing di negara Tirai Bambu ini.

Tianzi Mountain, Zhangjiaje, Hunan Province, China
China memiliki segalanya, kota kota dengan pencakar langit yang menjulang di Shanghai, hingga kota klasik yang memadukan kosmopolitan dan kekayaan peningalan sejarahnya.

Lijian, Yunnan Province, China
Sebagian besar wilayah China adalah daratan yang begitu luas, batas daratannya adalah yang terpanjang di dunia. Dari Selatan ke Utara, dapat ditempuh sampai 9 jam di atas daratan yang sama. China memiliki 33 Propinsi termasuk Propinsi dengan otonomi khusus. Setiap propinsinya memiliki keindahan dan keunikan masing masing. Cuaca yang berbeda antara Selatan, Tengah dan Utara, juga menjadi bagian dari keunikan Negeri Panda ini.

Setelah Guilin dan Yangshuo, inilah destinasi impianku berikutnya di China, yang juga menjadi tujuan ribuan turis asing yang datang dari berbagai benua, Li Jiang dan Dali di Propinsi Yunnan, Changsha dan Tianzi Mountain di Propinsi Hunan, dan Hangzhou di Propinsi Zhejiang, yang jaraknya hanya 2 jam dari Shanghai....

Ai Wo Zhong Hua

Wednesday, July 13, 2011

KENAPA MEMILIH PRIVATE TOUR LEADER ?


Berlibur bersama tour dari biro perjalanan mungkin sudah biasa. Harga paketnya mahal dan jadwal yang disusun sangat ketat. Sehingga sepulang liburan anda akan lelah menempuh perjalanan panjang dan padat. Pagi pagi sudah harus bangun, jika telat, anda akan ditinggal pergi oleh rombongan yang lain.

Terkadang tidak semua rombongan, merasa sreg dengan destinasi wisata yang sudah diatur oleh biro perjalanan, sehingga tidak semua orang menikmatinya. Bersama saya, private tour leader anda, yang sudah berpengalaman dari ujung ke ujung keliling Asia Tenggara, Hongkong, Macau dan China, segala yang tidak anda sukai di biro perjalanan tidak akan anda temui.

Apa kelebihannya ?
1.   Anda bebas menentukan negara mana saja yang anda ingin tuju. (Sementara hanya terbatas di Asia Tenggara, Hongkong, Macau dan China)
2.   Anda tentukan sendiri destinasi di negara tujuan anda, shopping, kawasan wisata, pantai atau dunia malam.
3.   Waktu anda tidak akan terikat jadwal yang ketat, anda bisa istrahat sampai waktu yang disepakati.
4.   Anda bisa menentukan makanan apa yang ingin anda makan, bebas.
5.   Anda yang merencanakan liburan bersama rombongan (minimal 10 orang) saya yang mengatur segalanya, mulai dari tiket, hotel hingga kembali ke Indonesia.
6.   Anda akan belajar mandiri, dengan check in sendiri (didampingi), belajar mengisi travel card, belajar naik transportasi umum yang canggih dan praktis di tiap negara, sambil mempelajari rute yang dilewati.
7.   Pengalaman berbeda yang tidak akan anda temui di biro perjalanan.

Jadi, tunggu apalagi, atur waktu dan tujuan anda bersama rombongan. Kabarkan pada saya, dan saya sendiri yang akan mengatur semuanya. Sekadar jalan jalan dan belanja di Singapore dan Hongkong atau mengeksplorasi seluruh negara bagian di Malaysia dan propinsi propinsi di Thailand, bahkan backpacker pun akan saya temani.

Selamat berlibur.

Tuesday, July 12, 2011

LIBURAN MURAH MERIAH DI LUAR NEGERI

Kualalumpur diwaktu malam
Liburan ke luar negeri dengan murah meriah ? Kenapa tidak. Selama ini yang ada dibenak orang  Indonesia, berlibur ke luar negeri itu mahal. Pertanyaannya kemana dulu ? Kalau ke Eropa, Amerika dan Eropa jelas mahal, karena biaya terbesar dari perjalanan ke luar negeri biasanya dihabiskan untuk tiket pesawat dan hotel. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin besar pula biayanya.

Singapore
Lantas, apakah hal itu menjadi alasan dan penghalang keinginan kita melihat negara lain ? Jelas tidak. Berlibur ke luar negeri nggak usah jauh jauh dulu. Asia terlalu luas dan indah untuk bisa dieksplorasi. Datanglah ke negara negara terdekat dulu, mulai dari Singapura, Malaysia, Thailand, negara negara di Indochina (Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja) Philipine, Brunei, agak jauh dikit ke Hongkong, Macau, lalu ke China (Zhenzhen, Guang Zhou, Shanghai, Tianjin, Fuzhou hingga ke Beijing).

Saat ini berlibur ke luar negeri, khususnya di negara dan kota kota yang saya sebutkan di atas semakin tertolong dengan hadirnya penerbangan berbiaya rendah. Pesawat berbiaya hemat memang sedang jadi trend di dunia, di Australia bahkan di Eropa sekalipun. Di Asia, Air Asia menjadi tonggak penerbangan low cost carier. Hadirnya Air Asia mendorong lahirnya penerbangan berbiaya murah lainnya.

Malaysia Airlines yang sempat terpukul dengan hadirnya Air Asia, akhirnya menyisakan sekian persen prosentase load foactor penumpangnya menjadi biaya murah. Di Singapura, hadir dua penerbangan murah, Tiger Air, ValueAir yang berafiliasi dengan Jet Star. Bahkan di Macau pun muncul Viva Macau dan di Thailand dengan Go Go Air dan Bangkok Air.

Clark Quay, Singapore
Kehadiran penerbangan2 murah itu semakin mempermudah kita untuk berlibur ke luar negeri dengan budget kecil. Sebagai contoh, kemana kita bisa berlibur dengan uang 4 juta rupiah ? Dalam kamus saya, uang segitu sudah cukup untuk melihat megahnya Singapura, beragam warnanya Malaysia dan eksotiknya Thailand.

Dengan biaya 4 juta/orang. Kita akan terbang dari Jakarta menuju Singapura dan tinggal 2 malam 3 hari di negara Singa itu. Di Singapura kita bisa mengunjungi tempat tempat wisatanya yang terkenal, Sentosa Island, Jurong Bird Park, Museum, shopping Area seperti Vivo City, Mustafa Center, Universal Studio, Orchard Road dan kawasan Bugis yang terkenal dengan Bugis Junction, Bugis Village dan Bugis Square, tempat dimana setiap pembeli bisa menawar barang barang yang diinginkannya.

Bangkok, Thailand
Bagi yang berlibur ala backpacker, biaya hidup di Singapura lumayan mahal dibanding Malaysia, Singapura atau Indonesia. Cara menyiasatinya, adalah dengan mencari hotel di pinggiran kota, sebetulnya sih hostel aja udah cukup. Toh kita datang bukan untuk tidur. Di Singapura cukup banyak hotel dan hostel murah, meskipun sebetulnya masih tergolong mahal untuk ukuran turis backpacker. Kalau mau lebih murah lagi, ya nginap di Johor Bahru (Malaysia) aja. Tiap hari tinggal naik bis aja ke Singapura.

Singapore
Dari Singapura perjalanan bisa diteruskan ke Kualalumpur dan tinggal 2 malam 3 hari disana. Kita akan naik bis dari Queen Street menuju Larkin Bus Station di Johor. Dari Larkin perjalanan yang menyenangkan dengan naik bis menuju Kualalumpur melalui jalan tol sepanjang lebih dari 400 Kilometer. Nah di Kualalumpur, hotel hotel murah bertebaran di sekitar Pudu Raya, Tuanku Abdul Rahman, China Town, bahkan di Ampang. Makanan pun murah murah.

Dari Kualalumpur perjalanan bisa dilanjutkan naik bis lagi ke Hatyai, yang merupakan kota terbesar di Thailand Selatan. Lumayan jauh dan makan waktu. Tapi namanya juga backpacker, semua yang dilihat di sepanjang jalan akan menjadi kenikmatan. Dari Hatyai kalau budget masih memungkinkan, kita cukup naik mini bus lagi ke Phuket dan Krabi. Bagi yang mau langsung ke Bangkok, tersedia penerbangan 7 kali sehari, bahkan lebih di waktu waktu tertentu, dari Kualalumpur.

Grand Palace, Bangkok
Dengan biaya dikisaran 4 juta perorang (bahkan mungkin lebih murah di waktu waktu tertentu) anda sudah bisa mengunjungi 3 negara, Singapura, Malaysia dan Thailand, 3 x naik pesawat dengan rute (Jakarta – Singapura, Kualalumpur – Bangkok/Phuket dan Bangkok/Phuket – Jakarta) dan sekali naik bis 5 jam, Singapura – Kualalumpur. Sudah termasuk penginapan di hotel yang murah meriah selama 7 – 9 hari. Tarif hotel bisa disesuaikan berdasarkan permintaan, dengan catatan akan menambah biaya/orang.

Jika anda berminat, silahkan rencanakan perjalanan anda dari jauh jauh hari, saya akan membuatkan rute dan waktu kunjungan termurah, apakah termasuk penginapan atau transportasi saja.

Thailand
Anda tidak akan terikat jadwal yang ketat seperti ikut rombongan tour, anda bebas menentukan destinasi dan tempat tempat yang ingin anda kunjungi sambil menikmati fasilitas angkutan yang modern dan tradisional di negara tujuan. Saya akan menjadi private tour guide anda yang akan mendampingi anda hingga sampai di tujuan dan kembali ke tanah air. Selamat berlibur.

Untuk konsultasi traveling, silahkan hubungi saya :

Glen Ahsan Andi Husain
Tlp. 0817704710/081389131377
Pin : 256F52AF

CAT :
·      Rombongan minimal 10 orang.
·     Seluruh Penerbangan dengan AirAsia, TigerAir, ValueAir, Bangkok Air, Viva Macau, Sriwijaya Air (sesuai jadwal dan tarif penerbangan terendah)
·      Seluruh pemberangkatan dari Jakarta, Surabaya dan Makassar

Sunday, July 10, 2011

TAMAN, LEBIH DARI SEKADAR HIASAN KOTA

Di kota kota besar, seperti Bangkok, Beijing, Shanghai, Hongkong, Singapore, Manila dan beberapa kota besar lain yang pernah aku kunjungi, taman taman kota seperti menjadi hal yang mutlak dimiliki. Di setiap sudut kota, di pinggiran, hingga di antara angkuhnya gedung gedung jangkung metropolitan, taman hampir selalu ada. Di Jakarta, kita kehilangan banyak taman. Kalau pun ada sekadarnya saja. Sedangkan pemanfaatan taman taman kota, tidak lebih sekadar tempat mangkalnya pedagang kaki lima, dan di malam hari berubah jadi tempat mesum. 

Lihatlah betapa kontrasnya, taman taman kota di Bangkok, yang begitu dekat dengan masyarakat, menjadi tempat bermain, tempat menyalurkan bakat, hobi dan lain lain. Di Sore hari, Taman taman disana ramai oleh anak anak yang bermain, oleh orang orang tua hingga hampir jompo yang senam, berkumpul bahkan mungkin sekadar ngegosip. Taman memang punya makna yang besar disana. Damai rasanya, duduk duduk sambil memperhatikan tingkah pola warga Bangkok di taman taman kota.

Foto & Caption : Ahsan Andi Husain


Santichai Phrakan Park, Disini Cinta Pertama Kali Bersemi...

Tempat Bermain dan Cinta Pertama...

Perhatiin Dua anak itu, mengingatkan masa masa kecil kita di kampung...

Taman Kota untuk semua...

Bermain dan Belajar....

Yah... Asyik aja mereka berdua....

Seru, Lucu......

Macam Macam Hobi bisa dilakukan di Taman....

Taman Yang Tenang untuk menyanyi bersama....

Hulahoooopppp....


Setiap Sore pelajar pelajar di Bangkok, membagi ilmunya untuk anak anak kurang mampu, dengan mengajar melukis, menggambar. Semua mereka modali sendiri, sebagai bagian dari pelajaran sosial di sekolah.... SALUT...

Ana Anak Kurang Mampu Pun Bisa belajar mewarnai dan melukis dari pelajar pelajar ini... Nyaris tak ada batas diantara mereka...

Taman tempat menyalurkan bakat, Street Dance seperti ini sangat jamak dilakukan berbagai di usia...

Mereka layak ikutan Got To Dance...

Semua bisa Street Dance...

Taman Kota, Tempat bagi siapa saja, dan untuk apa saja yang positif...

Mengisi waktu dengan hal positif di Taman Kota

Kecil Kecil Sudah jago....


Phra Sumen Fort menjelang Senja

Sanam Luang Park, Pusat Kegiatan Demonstrasi di Bangkok. Tempat yang nyaman, penuh dengan merpati, walau sekadar duduk duduk di siang atau sore hari menikmati hembusan angin....

Taman tempat orang orang tua jompo berolahraga ringan...

Taman di Tepi ChaoPhraya, Park...

Taman Yang Teduh.... Di Tepi Chaophraya

Thursday, June 30, 2011

RESENSI FILM 'UMRAO JAAN'

UMRAO JAAN, FILM INDIA YANG BERBEDA
Judul : Umrao Jaan (2006)
Sutradara : JP Datta
Resensi : Ahsan Andi Husain
Iseng iseng nonton Channel B4U Movies, di Astro Malaysia. Saluran film India itu menayangkan ‘Umrao Jaan’, sebuah film produksi 2006 yang pernah bikin gue jatuh cinta pada cerita dan lagu lagunya. Umrao Jaan, bukan film India biasa, isinya dalem, penuh filsafat, dan konon diangkat dari kisah nyata.
Gue nonton film ini juga secara tidak sengaja, tahun 2007 lalu di salah satu saluran TV berlangganan Malaysia. Saking senangnya sama film ini, gue mengobrak abrik lapak lapak DVD bajakan, tapi ternyata DVDnya tidak beredar di Indonesia. Gue baru nemu DVDnya tahun 2008 di Mustafa Center, Singapore. Nonton lagi deh.
Sedikit resensinya. Umrao Jaan berkisah tentang seorang gadis berusia 12 tahun, bernama Amiran, diperankan dengan apik oleh Bansree Mandhani. Amiran tinggal di Faizabad, nun jauh di bagian utara India. Amiran dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat, bersama ayah, ibu dan adik laki lakinya.
Namun, malapetaka tiba ketika Dilawar Khan keluar dari penjara. Dilawar yang dipenjara karena bukti bukti dan kesaksian jujur ayah Amiran, rupanya menyimpan dendam. Maka Dilawar menculik Amiran dan dijual ke rumah bordil di Lucknow, untuk membayar sakit hatinya. Nama Amiran kemudian diganti oleh ibu asuhnya menjadi Umrao Jaan.
Umrao (diperankan dengan sangat pas oleh Aishwarya Rai) tumbuh menjadi gadis cantik dan mempesona banyak laki laki. Kecantikan pelacur kelas atas itu tersohor hingga ke istana para Sultan di Lucknow. Meski berkisah tentang kehidupan seorang wanita penghibur, film ini sama sekali tidak mengumbar adegan adegan pelacuran.
Umrao hanya dilukiskan sebagai penari yang menghibur orang orang yang menanggapnya. Hingga akhirnya Nawab Sultan, yang diperankan Abishek Bachchan, jatuh cinta pada kecantikan, keindahan dan kelenturan tubuh Umrao saat menari.
Nawab Sultan pun mengungkapkan perasaannya pada Umrao, maka terangkailah kisah nan romantis antara dua insan berbeda ‘kasta’ itu. Namun, kisah cinta Umrao ternyata tak seindah syair syair lagu yang dilantunkannya. Ayah Sultan mencium hubungan asmara anaknya dengan wanita penghibur itu.
Ayah Sultan menentang habis habisan hubungan Nawab Sultan dengan Umrao. Bagi ayah Sultan, cinta itu adalah restu yang keluar dari mulut seorang ayah dan susu yang keluar dari seorang ibu untuk anaknya.
Ayah Sultan menghukum Nawab Sultan, dengan mengharamkan seluruh hartanya jatuh pada Sultan. Sultan bahkan dimiskinkan dengan diusir dari istana dan tinggal di kampung bersama pamannya. Tapi, cinta yang membelenggu hati Sultan, membuatnya rela kehilangan segala galanya asal tidak kehilangan cintanya pada Umrao.
Kepada Umrao, Sultan berjanji akan kembali untuk menikahinya kelak. Sepeninggal Sultan, Umrao hidup dalam kedukaan yang berkepanjangan. Siang malam Umrao berdoa agar Nawab Sultan segera kembali padanya. Tapi Sultan tak kunjung datang.
Dalam kegalauan itulah, Faiz Ali (Sunil Shetty) mencoba merebut hati Umrao, tapi Umrao tak mudah memberikan cintanya selain pada Sultan. Faiz Ali bertekad akan mengejar cinta Umrao hingga ke liang kubur. Faiz Ali rupanya menyimpan akal licik, dengan mengajak Umrao ke Daulatabad, untuk menemui Nawab Sultan.
Saat perjalanan menuju Daultabad, Faiz Ali ditangkap dan di penjara. Faiz ternyata adalah perampok kelas kakap yang sudah bertahun tahun diincar oleh polisi. Umrao pun menemani Faiz ke penjara, tapi Faiz tidak yakin Umrao mencintainya. Umrao bersedia menemui Faiz semata mata agar Umrao bisa bertemu dengan Nawab Sultan.
Niat jahat Faiz pun muncul dengan mengarang cerita, bahwa dia telah meniduri Umrao. Nawab Sultan yang berniat kembali kepada Umrao mendengar kabar tersebut, dan menilai Umrao telah menghianati kesetiaannya. Umrao patah hati, dan memilih untuk pulang ke Lucknow dan menjalani kembali kehidupan lamanya sebagai pelacur. Tapi, nasib punya rencana lain.
Dalam keadaan mabuk, Gauhar Mirza, laki laki yang sudah lama jatuh cinta pada Umrao, berniat memperkosa Umrao, tapi Umrao berhasil meloloskan diri. Saat itulah, tentara Inggris menyerang Lucknow dan membuat kota itu kocar kacir, orang orang mengungsi termasuk Umrao.
Umrao memilih pulang ke Faizabad, rumah masa kecilnya. Namun saat kembali ke kampungnya, ayah Umrao sudah lama meninggal, hanya ibu dan adiknya yang masih tingga di rumah itu. Sayang, ibu dan adiknya menolak menerima Umrao, karena profesinya sebagai pelacur.
Meski cerita berjalan lamban, adegan peradegan sama sekali tidak membosankan. Dialognya ditulis dengan sangat indah, seindah lirik lirik lagunya. Musik digarap dengan sangat apik oleh Anu Malik, yang sudah menggarap musik lebih dari 200 judul film, beberapa kali meraih Filmfare Award, sebagai Best Music Director.
Anu Malik yang sudah malang melintang menata musik di ratusan judul film, rupanya paham benar bagaimana menempatkan sebuah lagu di setiap adegan di film arah sutradara JP Dutta ini. Lirik dan hentakan iramanya yang cenderung beraliran New Age, terasa menyatu dengan kisah dan perasaan Umrao.
Film Umrao Jaan (2006) adalah remake dari film berjudul sama produksi 1981 yang saat itu disutradarai oleh Musaffar Ali. Umrao Jaan edisi lama dibintangi oleh pelakon kawakan di jamannya, Rakhee dan Naseruddin Shah.
Bagi pencinta film Bollywood, film Umrao Jaan adalah salah satu yang terbaik untuk jadi pilihan. Film bersetting tahun 1840 ini, digarap dengan serius. Konon budget terbesar untuk film berdurasi 189 menit ini, selain honor pemainnya, juga pada kostum kostum dan setnya yang megah.
Sekadar catatan, film produksi 2006 ini tidak beredar di bioskop Indonesia, tapi berhasil mengantongi keuntungan lebih dari 1,3 Juta US Dollar di negaranya. Selain bertabur bintang papan atas, film ini juga menyajikan gambar yang indah dan penonton seakan terbawa ke India di tahun 1840.
Yang pasti, Umrao Jaan menghidangkan cerita yang berbeda dari film film India komersil, seperti Kuch Kuch Hota Hai atau Mohabbatein.****

Thursday, June 23, 2011

RESENSI BUKU 'NGUPING SELEBRITI'

‘Tingkah Polah Selebriti, Yang Luput Dari Infotainment’

Judul Buku : ‘Nguping Selebriti’
Penulis : Very Barus
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Peresensi : Ahsan Andi Husain

Tuntas dalam 2 jam melumat habis buku ‘Nguping Selebriti’ karya Very Barus ini. Sudah lama pengen membacanya, pertama karena rasa penasaran, kedua karena gue adalah bagian dari isinya, ketiga karena hampir semua inisial yang disebutkan gue kenal dan keempat karena penulisnya memiliki telinga yang lebih tajam dari ‘silet’.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat ringan, tapi isinya tidak seringan bahasanya, padat dan layak dipercaya. Butuh kedekatan personal antara penulis dengan nara sumbernya untuk melahirkan buku seperti ini, dan itu dimiliki oleh sang penulis. Tapi yang pasti, tidak butuh banyak energi untuk membaca buku ini, seperti narator infotainment yang membacakan narasi dengan berapi api dan penuh tekanan, tapi isinya teryata settingan.

Membaca buku ini, ibarat menguliti hal hal klenik yang dimiliki oleh para pesohor negeri ini (meminjam idiom yang sering dipake salah satu infotainment). Buku terbitan Gramedia ini, mengupas hingga kulit terdalam kehidupan para selebriti, yang membuat pembaca terperanjat dan dengan segera tersadar, bahwa ‘oh ternyata artis juga manusia’, tak luput dari saling menguping, saling mengintip dan saling menggosip.

Bagi pencinta tayangan infotainment, yang terbiasa mendengar pujian dan sanjungan pada para selebriti itu, maka buku ini seperti membuka mata penonton infotainment lebih lebar lagi, bahwa kehidupan mereka, tak kurang dan tak lebih dari manusia biasa. Jika infotainment hanya mengupas hingga kulit ari, maka buku ini ibarat mengupas sampai lapisan Dermis kehidupan selebriti. Parah kan ?

Mungkin bagi orang awam yang tidak bergelut di dunia infotainment, akan dibuat terbelalak oleh isi buku ini. Penasaran dan menebak nebak inisial para artis yang disamarkan, tapi akan lebih terbelalak lagi dengan tingkah dan  polah mereka di dunia nyata. Ini bukan gosip, tapi realita yang luput dari pemberitaan dan sorotan kamera, karena untuk melahirkan buku seperti ini tidak dibutuhkan kamera, tapi hanya sepasang kuping yang jago menguping sumber dan orang orang dekatnya.

Sebagai salah satu sumber yang banyak memberi inspirasi dalam isi buku ini (teuteup... emang penulis doang yang butuh sanjungan ?), gue sempat deg degan, tidur tak kenyang, makan tak lelap, gara gara penasaran dengan isinya. Takut, hasil kupingan penulis dari cerita cerita yang tidak gue sadari direkam sama dia, ketahuan oleh orang yang dirumpiin. Tapi sekali lagi ini fakta, bukan opini apalagi khayalan yang kebetulan belaka, seperti opening sinetron.

Sambil ngopi atau nongkrong di kedai kedai kopi berbandrol kelas atas, buku ini layak dijadikan teman. Paling tidak, pembaca akan punya bahan cerita yang eksklusif, alias belum pernah dipirsa atau didengar oleh penonton infotainment. Tapi, anda silahkan menerka nerka, siapa tahu orang yang ada dalam buku ini adalah idola anda yang selama ini membuai dengan penampilan dan imejnya di layar kaca.****

Catatan :
Peresensi sudah meresensi buku sejak kelas 1 SMA. Terakhir meresensi buku, menjelang lulus sarjana tahun 1998. Ini adalah resensi pertama sejak vakum meresensi buku selama 13 tahun. Maka layak berbanggalah penulis buku ini hahahahaha..

Monday, June 6, 2011

WEDDING DRESS (KOREAN MOVIE), 'KETIKA KETABAHAN MENGURAS AIR MATA'

Resensi Oleh : Ahsan Andi Husain
Pemain : Song Yoon-ah, Kim Hyang-ki
Sutradara : Kwon Hyeong-jin
Screeplay : Yoo Yeong-ah

Wedding Dress, sebuah film drama kehidupan yang sangat menyentuh. Film arahan sutradara kondang Korea, Kwon Hyeong-jin, yang juga menggarap film Korea lainnya, The Piano, benar benar pas untuk tontonan keluarga. Kalau kamu cewek, barangkali hatimu terbuat dari batu, jika film ini tidak sanggup menyentuh perasaan terdalammu.
Dalam film berdurasi 109 menit ini, tidak banyak adegan menangis meraung raung, tidak ada dialog anak yang menangis disamping jasad ibunya sambil berteriak ‘ibu... ibu, jangan tinggalkan aku, Bu...’. Tapi dialognya yang dalam, ketabahan Go Eun menghadapi detik detik terakhir hidupnya, hingga adegan So Ra, anaknya, menahan sedih, justru akan membuat keteguhan hati penonton luluh berkeping keping.
Go Eun, yang diperankan dengan sangat apik oleh Song Yoon-ah, menjadi tokoh sentral di film ini, bersama anaknya, So Ra, yang baru berumur 9 tahun. So ra dilakonkan dengan sangat luar biasa oleh aktris cilik, Kim Hyang-ki. Ikatan emosi ibu dan anak inilah yang dirangkai menjadi sebuah cerita yang begitu kuat.
Drama yang dirilis awal 2010 ini berkisah tentang Go Eun, seorang ibu tunggal, desainer gaun pengantin yang super sibuk. Kesibukan Go Eun membuat waktunya sangat mahal untuk memperhatikan anak semata wayangnya, So Ra. Namun, kesibukan Go Eun jugalah yang membuat So Ra, tumbuh menjadi gadis cilik yang mandiri.
Setiap hari, ke sekolah dan latihan balet, So Ra selalu diantar jemput oleh tantenya. Padahal, selama ini Go Eun tidak tahu, kalau So Ra tidak pernah masuk ke dalam kelas kursus balet. So Ra ikut balet sebetulnya hanya untuk menyenangkan Go Eun, yang menginginkan So Ra jadi penari balet. Hari hari So Ra, berjalan laiknya anak yang kurang kasih sayang.
Selama ini Go Eun, hanya bisa marah karena So Ra basah kehujanan karena tidak membawa payung ke sekolah, padahal Go Eun selalu berpesan, supaya So Ra selalu menyiapkan payung sendiri setiap berangkat sekolah. Go Eun hanya bisa ngomel, karena So Ra tidak bisa menyisir rambutnya sendiri, bla, bla, bla...
Perkembangan psikologis So Ra, nyaris tidak terbaca oleh Go Eun, sampai akhirnya Go Eun dipanggil ke sekolah karena So Ra susah bergaul dengan anak anak lain. So Ra, gampang marah dan berkelahi dengan temannya, sehingga So Ra tidak punya teman.
Namun, dunia seakan runtuh, ketika Go Eun divonis oleh dokter, mengidap kanker lambung. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Go Eun, selain menyiapkan diri untuk menjemput kematiannya. Drastis, Go Eun, berubah jadi ibu yang sangat perhatian dan memberikan waktu sebanyak mungkin untuk So Ra.

Go Eun, tidak ingin hari harinya terlewati tanpa menemani So Ra, bermain Nintendo, menyiapkan kotak makan So Ra, mengajak liburan ke pantai, hingga membelikan So Ra sepeda. Ada adegan menyentuh ketika Go Eun mengatakan pada So Ra, bahwa dia baru saja membelikan sepeda untuk So Ra. Gadis cilik itu hanya menjawab, “Tapi ibu hanya bisa membelikan saja kan ?" Go Eun tertegun oleh ucapan So Ra.
Go Eun berusaha untuk tidak membuat anaknya sedih. Setiap hari dia berusaha menjadi ibu yang kuat, tidak terlihat lemah. Namun, Go Eun, tidak kuasa untuk terus menerus merahasiakan semuanya, karena kondisinya semakin lemah. Dokter memutuskan untuk merawat Go Eun, tapi Go Eun menolak dengan alasan ingin menghabiskan waktunya bersama So Ra.
So Ra akhirnya tahu bahwa ibunya sakit, ketika suatu malam diam diam So Ra memperhatikan ibunya meminum banyak obat. Bukan hanya Go Eun yang tutup mulut tentang penyakitnya, keluarga dan saudara saudaranya pun bersikap sama, dengan alasan tidak ingin membuat So Ra sedih.
Ketika Go Eun memberikan semua waktunya untuk So Ra, sebaliknya So Ra pun menyiapkan diri untuk membahagiakan ibunya, tanpa harus menanyakan penyakit yang diderita Go Eun. Instink So Ra, sebagai anak begitu kuat. Diam diam So Ra berusaha memenuhi semua keinginan ibunya, yang selama ini justru tidak dilakukannya.
So Ra akhirnya ikut balet, berusaha berdamai dengan teman temannya, karena tidak ingin dikatakan tidak punya teman karena nakal, seperti yang selalu diucapkan ibunya. Detik detik menjelang kematian Go Eun, ikatan emosi antara So Ra dan ibunya, sungguh akan menguras air mata penonton.
Hari demi hari, kondisi Go Eun kian menurun. Singkat cerita, ketika terbangun di pagi hari, di ruang rawat rumah sakit, So Ra yang saat itu tidur di samping Go Eun, mengajak ibunya bercerita, padahal Go Eun justru sudah lelap selama lamanya. “Kalau ibu masih ngantuk, ibu tidur aja lagi, aku nggak akan mengganggu tidur ibu,” ucap So Ra, yang sebetulnya sudah tahu, bahwa Go Eun sudah meninggal.
Di pagi yang masih hening, So Ra duduk termenung seorang diri di depan kamar rawat Go Eun. Dialog dialog voice over So Ra yang memenuhi menit menit hening itu, betul betul menyentil hati penonton. So Ra, merasa telah berbuat yang terbaik pada ibunya, sebagai bakti seorang anak berusia 9 tahun di akhir usia ibunya.
So Ra baru tersadar ketika beberapa dokter datang hendak memeriksa kondisi Go Eun, tapi So Ra menghalangi dokter itu. So Ra menangis sejadi jadinya, laiknya anak seusianya. So Ra menangis justru karena menghalangi dokter itu supaya tidak menganggu tidur ibunya.
Emosi penonton yang sudah teraduk aduk, pasti semakin tidak terbendung untuk menanti ending dari cerita mengharu biru ini. Tapi hapus air mata anda, karena akhir kisah yang cantik sudah disiapkan oleh penulis dengan meninggalkan kesan yang sangat dalam. Tidak ada adegan Go Eun menghembuskan nafas terakhir. Tidak ada dialog dan adegan So Ra menangis disamping jenazah ibunya.
Sepeninggal Go Eun, So Ra tetap sekolah seperti biasa, tapi kini dia selalu membawa payung agar tidak kehujanan lagi seperti pesan Go Eun. Sebelum pergi meninggalkan buah hatinya untuk selama lamanya, diam diam Go Eun telah menitipkan pada sahabatnya, sebuah gaun pengantin rancangannya untuk kelak dipakai So Ra.
Diiringi musik lirih yang membuat hati penonton tidak kalah lirihnya, di bawah hujan deras, di sebuah lapangan kosong, So Ra berjalan sendiri dengan payung kuning, dengan langkah yang seolah melukiskan bahwa dia telah menjadi gadis cilik yang mandiri. So Ra sudah bisa menyisir rambutnya, dan membawa payung sebelum berangkat ke sekolah. Cerita berakhir dengan kesan manis yang ditinggalkan So Ra dan Go Eun, yang mungkin membuat penonton tersenyum setelah termehek mehek.
Bagi penggemar cerita drama Korea mengharu biru, film ini layak jadi pilihan. Kekuatan dan bakat akting Kim Hyang-ki, menjadikan tokoh So Ra begitu hidup. Satu catatan lagi, nyaris tidak ada adegan yang dibuat buat atau mengada ada di sepanjang film ini.***

RESULT : Untuk genre Film Drama Korea, aku memberi 9 bintang dari 10 bintang untuk film ini.

Silahkan copy paste petikan film ini di :
http://www.hancinema.net/video.php?table=film&id=21475

Sunday, June 5, 2011

MERETAS MIMPI DI TEMBOK CHINA...(BAG 2 HABIS)

Oleh : Ahsan Andi Husain

Inilah ujung dari perjalanan panjangku melewati jarak lebih dari 10 Ribu Kilometer ke arah Utara Khatulistiwa demi untuk menunaikan mimpiku menjejakkan kaki di Tembok China.

Baiyun Airport of Guangzhou
Aku sengaja tidak tidur sepanjang perjalanan di udara dari Guangzhou ke Beijing, karena ingin menikmati daratan China dari ketinggian. Tapi kabut dan awan musim dingin seperti membeku dan menutupi seluruh permukaan bumi. Hamparan tanah kering, bukit dan pohon pohon yang mengering, terbentang sangat luas.

Setengah jam sebelum berangkat, aku menyiapkan pakaian musim dinginku, memakai sarung tangan dan sal di leher. Dinginnya udara diluar mulai terasa di dalam kabin pesawat. Alhamdulillah, meski sedikit disertai guncangan, akhirnya pesawat berbadan lebar itu mendarat di Capital International Airport of Beijing. Tak sabar ingin cepat cepat keluar dari badan pesawat dan merasakan dingin di titik beku yang sesungguhnya.

Dari jendela kecil pesawat aku bisa melihat cuaca di Beijing siang itu sangat cerah dan terang, bahkan langit terlihat sangat biru, nyaris tidak ada awan. Dalam hati aku berpikir, pasti udara di luar lagi hangat, tidak sedingin perkiraan cuaca yang muncul di monitor pesawat, yang menyebutkan bahwa suhu di Beijing siang itu adalah 3 derajat Celcius, nyaris mencapai titik nol. Wow, membayangkannya saja sudah membuat gigi gemeretak.

Dengan langkah pasti dan penuh semangat. Aku keluar dari pesawat. Rasa kagumku membuncah saat itu. Bandara Capital, ternyata luar biasa megahnya. Rancangan yang futuristik dengan atap bak kepakan sayap burung yang sedang hinggap, bersepuh warna merah dan perak. Sungguh membuat kita berdecak kagum. Inilah Capital International Airport, 1 dari 10 bandara terindah di dunia.

Suasana Musim Dingin di Beijing
Suhu di dalam bandara terasa hangat, sekitar 20 derajat Celcius. Itu artinya suhu di luar akan jauh lebih dingin daripada di dalam terminal. Perkiraanku ternyata benar. Begitu kakiku selangkah keluar dari pintu keluar terminal bandara, angin kering musim dingin yang berhembus seakan siap merontokkan seluruh tulang tulangku. Cuaca dingin yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, ternyata memang ada.

Hanya berjalan beberapa puluh meter saja, puluhan bis bis besar yang akan mengantar penumpang ke pusat kota berjejer dengan rapi. Tidak ada teriakan teriakan kondektur atau sopir yang memanggil penumpang. Aku sempat bingung apakah bis itu menuju pusat kota Beijing. Lagi lagi bahasa menjadi kendala di Ibu Kota Republik Rakyat China ini.

Dengan sedikit bahasa Mandarin, aku menyampaikan tujuanku hendak ke pusat kota Beijing, pada salah satu penumpang, ternyata dia mengerti, meski hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Tak sampai 10 menit, bis yang aku tumpangi meluncur melalui jalan tol yang mulus dan bersih. Mereka tidak menunggu bis penuh, begitu sampai waktunya berangkat, maka bis itu akan meninggalkan bandara.

Beijing, sungguh sebuah kota yang unik. Sepanjang jalan, batang batang pohon meranggas berdiri tanpa sehelai daun. Seperti ada kebakaran besar yang melanda kota itu. Padahal, memang seperti itulah atmosfir kota empat musim ketika memasuki Musim Dingin. Pohon pohon meranggas, kering tanpa daun, tapi sebetulnya mereka tidak mati, hanya baru saja melewati Musim Gugur sebelum masuk musim dingin. Keunikan itulah yang membuatku merasa berada di belahan bumi lain.

Senja di Wangfujing, Beijing
Mendekati pusat kota, bangunan bangunan jangkung dan modern, seakan menjadi satu kesatuan dengan bangunan bangunan peninggalan kekaisaran China berusia ratusan bahkan mungkin lebih dari seribu tahun. Sebuah harmonisasi yang menjadikan kota Beijing sebagai kota tempat bertemunya China di jaman Dinasti dengan China yang supermodern. Beijing ternyata bukan sekadar kota tradisional seperti yang sering terlihat di film film Kungfu, tapi juga sebuah kota Kosmopolitan yang telah membuka diri pada dunia luar.

Bis yang aku tumpangi berhenti tidak jauh dari Lapangan Tiananmen. Kali ini aku benar benar buta akan kemana selanjutnya setelah turun dari sini. Hotel yang sudah aku reservasi terletak di kawasan Wang Fujing, yang jaraknya saja aku tidak tau dari lokasi aku turun. Aku bergegas membuka peta, sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuanku.

Ternyata jaraknya tidak begitu jauh. Ketika aku turun dari bis, beberapa penarik rigsaw yang mirip becak, datang mendekat ke bis. Aku pun turun dan wow, angin yang berhembus di udara dingin benar benar bikin kulit wajah seperti mati rasa, kaku dan kering.

Bukan hanya pohon pohon yang kering meranggas, tapi udara dan anginnya pun terasa sangat kering, nyaris tidak ada tanaman yang terlihat hijau, bahkan rumput pun mengering. Keadaan seperti itu, tentunya akan berubah di musim Semi, dimana semua pohon menghijau dan berbunga, rumput pun tumbuh dengan subur. Tapi kali ini, pemandangannya sungguh sangat unik.

Aku sempat berbincang sedikit dengan penarik rigsaw dengan bahasa Mandarin seadanya. Beruntung dia paham maksud dan tujuanku. Harga pun disepakati 30 Yuan, atau sekitar 45 ribu rupiah. Aku pun naik, dan rigsaw melaju dengan kencang, udara dingin di siang menjelang sore itu, seakan membuat kulitku retak.

Wangfujing Menjelang Malam
Akhirnya aku sampai di hotel yang sudah aku pesan sebelum berangkat. Aku sempat ribut dengan penarik rigsaw itu, karena mendadak dia menolak ketika aku membayarnya 30 Yuan. “Bukan 30 Yuan, tapi 30 Euro,” katanya enteng dengan bahasa Mandarin. Oh My God, memangnya aku dari Eropa disuruh bayar pake Euro. “Wo mei you, ni shuo san shi renmin bi,” ucapku dalam bahasa Mandarin pas pasan, yang artinya kurang lebih aku nggak mau, kamu kan bilangnya 30 yuan/renmin bi.

Orang itu tetap saja ngotot, tapi aku tetap tidak bersedia membayar sesuai permintaannya. Gila aja 30 Euro kan lebih dari 300 ribu rupiah. Aku langsung memberikan uang sebesar 30 yuan, lalu buru buru pergi. Sebuah pelajaran pertama aku dapatkan di Beijing hari itu, bahwa kita harus berhati hati pada penarik rigsaw di kota ini, kita mungkin saja tertipu karena kita pendatang baru.

Sesampai di hotel, aku check in, masuk kamar dan bergegas mandi. Tak sabar rasanya mau mengeskplore kota modern namun tetap mempertahankan nilai nilai tradisinya itu. Malam itu aku ingin menikmati suasana malam musim dingin di Beijing. Tapi baru beberapa meter aku melangkahkan kaki dari hotel, cuaca yang dingin benar benar membuat badan terasa kaku.

Kaos tangan berbahan wol yang aku siapkan dari Indonesia, nyatanya tidak cukup kuat untuk membendung dinginnya Beijing. Malam itu suhu di Beijing mencapai -7 derajat Celcius. Aku mampir di sebuah toko kecil yang menjual asesoris musim dingin, seperti penutup kepala, fuih untung aku menemukan kaos tangan berbahan kulit dan kain tebal. Lumayan hangat. Tapi ujung ujungnya, jari jari tidak bisa digerakkan untuk menekan tombol kamera saking kakunya.

Aku cukup berjalan kaki untuk sampai di Wang Fujing Dajie (Wang Fujing Boulevard), salah satu kawasan Pusat Perbelanjaan ternama di Beijing. Meski malam itu suhu berada di bawah titik beku, tapi jalan Wang Fujing yang lebar itu, dipenuhi orang orang yang shopping, menikmati makanan dan minuman hangat atau sekadar berjalan jalan, mereguk malam yang cerah dengan bulan purnama nyaris penuh.

Di kawasan Wangfujing, selain terdapat pusat perbelanjaan besar dan elit, juga ada pasar malam yang menjual berbagai barang barang kerajinan dan oleh oleh khas China dengan harga yang bisa di tawar. Suasana pasar malam ini sangat ramai. Pada musim dingin, deretan kios kios dan supermarket di Wang Fujing rata rata menjual pakaian sesuai musim.

Lelah berjalan kaki, perut pun mulai lapar. Tidak jauh dari pasar malam, berderet restoran restoran yang menyajikan berbagai jenis makanan China. Tapi jangan harap kita bisa menemukan masakan Chinese Food yang pas dengan lidah orang Indonesia. Masakan Chinese Food di Beijing, akan membuat lidah kita benar benar bertualang mencari rasa yang pas.

Hampir semua pedagang makanan di Beijing tidak bisa berbahasa Inggris. Aku sempat kesulitan memilih makanan, karena tak bisa menyebutkan nama makanannya. Biasanya, pelayan di restoran akan membawakan menu dan menyuruh kita menunjuk menu yang kita pilih. Kalau mau lebih mudah lagi, tinggal tunjuk menu yang dimakan salah satu pengunjung. Beres. Bagi yang mencari makanan halal, tidak perlu khawatir disini terdapat banyak makanan berlabel halal.

Sebagai kawasan wajib kunjung, Pemerintah Kota Beijing, tampaknya sangat memperhatikan kenyamanan di Wang Fujing. Pedesterian yang lebar dan memberi kebebasan pada pejalan kaki, hingga polisi yang bertugas dengan ramah dan murah senyum. Pada jam jam tertentu, termasuk malam itu, jalan Wang Fujing ditutup untuk kendaraan umum, sehingga orang orang bisa berlalu lalang, tanpa takut menyeberang. Suasana di Wang Fujing dan sekitarnya benar benar hidup dan dinamis.

St Joseph Cathedral at Wangfujing, Beijing
Bukan hanya suasana pusat perbelanjaannya yang hiruk pikuk, tidak jauh dari kawasan nan gemerlap Wang Fujing, terdapat sebuah Katedral tua bergaya Romawi dengan sedikit sentuhan gotik. St Joseph Cathedral Wang Fujing merupakan bangunan gereja tertua di Beijing yang dibangun pada tahun 1653. Menurut sejarahnya, katedral klasik itu sempat mengalami kerusakan parah karena gempa bumi, sehingga harus dibangun kembali pada tahun 1904.

Katedral St Joseph sendiri baru dibuka kembali untuk umum pada tahun 1980, setelah masa restorasi China. Pasalnya, sebagai negara Komunis, tempat tempat ibadah di China, tidak lebih sebagai kenang kenangan peninggalan sejarah. Namun, meski sudah sangat tua, bangunan bangunan tua di China nyaris tidak meninggalkan cacat karena begitu terawatnya, termasuk Katedral St Joseph.

Saya tertarik untuk melihat lebih dekat aktifitas segelintir warga Beijing di Katedral St Joseph. Saya duduk dan ikut masuk sekadar untuk tahu seperti apa kegiatan beragama disalah satu sudut China, yang konon hanya 10 % penduduknya yang mengenal agama. Ternyata, lebih dari separuh yang datang ke Katedral itu adalah warga paruh baya.

Misa berjalan seperti halnya di Indonesia, ada khotbah, ada alunan kidung kidung pujian, yang membedakan hanya bahasanya saja. Pastor yang berkhotbah pun menggunakan Bahasa Mandarin, bahasa nasional di negara itu. Misa hanya berlangsung satu jam, setelahnya orang orang bubar dan saling berjabat tangan. Terasa sangat hangat, meskipun orang yang memiliki agama di negara ini adalah minoritas.

Malam, semakin dingin. Bibir sudah mulai mengering. Meneguk air putih berkali kali rasanya tidak mampu menghilangkan rasa dahaga. Wajah dan sebagian telapak tangan pun sudah mulai kaku dan memerah bahkan hampir mati rasa. Dalam hati aku sempat berpikir, kok ada manusia yang bisa hidup dalam cuaca kering dan dingin seperti di Beijing.

Suasana Pagi di Beijing
Hari kedua di Beijing, aku sudah terbangun pagi pagi. Kamar yang AC-nya tidak diaktifkan, terasa jauh lebih hangat daripada cuaca di luar. Setelah mandi dengan air hangat, mengoleskan minyak kayu putih, pelembab di kulit dan wajah, aku pun bersiap siap untuk mewujudukan mimpiku hari itu, menapakkan kaki di Tembok Cina.

Sekitar pukul 8 Waktu di Beijing, rombongan tour yang akan berangkat ke Tembok Cina sudah berkumpul di lobi hotel. Hanya aku satu satunya orang Indonesia, sebagian besar adalah turis Perancis dan Rusia, sisanya turis dari Hongkong. Dipandu seorang tour guide yang fasih berbahasa Inggris, bus yang kami tumpangi pun meluncur ke Badaling.

Sepanjang perjalanan, pohon pohon kering meranggas, berjejer dengan rapi di sepanjang jalan. Pemandangan itu tentunya sangat kontras di musim semi, karena pohon pohon itu akan menghijau dan berbunga. Tumpahan air yang membeku karena dinginnya pagi, terlihat di sepanjang jalan. Bahkan sungai dan selokan selokan kecil pun tampak membatu tak bergerak.

Pemandangan Beijing di pagi hari terasa sangat hidup. Orang orang mengayuh sepeda, anak anak berangkat sekolah dengan pakaian tebal. Kendaraan kendaraan pun berjalan dengan sangat teratur, tidak ada yang saling menyalip atau membunyikan klakson. Jalan jalan di Beijing sangatlah lebar, walau begitu, pagi dan sore hampir semua ruas jalan akan padat dan sesak oleh kendaraan.

Tak ingin rasanya memejamkan mata, agar bisa menikmati dengan detil setiap sudut kota Beijing. Bus yang aku tumpangi melewati Tiananmen yang terkenal itu, Olympic Center yang super besar dengan arsitekturnya nan futuristik, TV Tower setinggi 400 meter yang terlihat mencolok di pusat kota, sampai Forbidden City yang tersohor itu.

Ming Thombs
Tujuan utama kami seharian itu adalah ke Tembok Cina, melalui Badaling. Badaling adalah salah satu pintu terbaik, terdekat dan paling mudah untuk sampai ke Tembok Cina. Sejak tahun 1957, Badaling yang letaknya sekitar 70 kilometer arah Utara Beijing, dibuka untuk para turis yang hendak ke Tembok China.

Sekitar 50 Kilometer dari Beijing arah Badaling, bus yang aku tumpangi berhenti di destinasi wisata pertama, yaitu Ming Thombs atau bangunan tua sisa peninggalan Dinasti Ming. Kompleks Dinasti Ming itu dibangun pada tahun 1402, dijaman Kekaisaran Yongle, yang memindahkan ibukota China dari Nanjing ke Beijing.

Lumayan puas rasanya bisa melihat dari dekat sisa sisa kekaisaran China lama, di kompleks ini kita bisa melihat barang barang antik peninggalan Dinasti Ming, seperti singgasana, mahkota yang terbuat dari emas, senjata, sampai baju kebesaran kaisar pun masih disimpan dengan rapi, lengkap dengan perhiasan perhiasannya. Semuanya masih terjaga dan terawat dengan baik.

Pusat Kerajinan Giok Terbesar di Dunia
Menjelang siang, kami melanjutkan perjalan ke destinasi utama kami, yaitu The Great Wall. Tapi kami mampir sejenak di tempat kerajinan Giok terbesar di dunia. Meski tidak begitu tertarik dengan giok, tapi ada rasa kagum melihat hasil kerajinan giok yang bermacam macam jenisnya itu. Di tempat ini kita bisa melihat secara langsung tahapan tahapan pengasahan Batu Giok, hingga proses akhir yang siap dijual.

Setelah mampir makan siang, akhirnya perjalanan terakhir ke Tembok Cina dilanjutkan. Hanya 40 menit setelah pusat kerajinan batu giok. Tak sabar rasanya untuk sampai ke salah satu keajaiban dunia itu, tembok raksasa yang konon merupakan satu satunya benda di permukaan di bumi yang bisa terlihat dari bulan.

Akhirnya sampai juga kami di Badaling. Tapi mana Tembok Chinanya ?  Yang terlihat hanya bis bis yang parkir dengan rapi. Rupanya kami masih harus berjalan naik  sekitar 1 kilometer, dengan melewati pedagang kaki lima. Perjalanan kaki yang cukup membuat lutut bergetar karena tingginya ditambah lagi cuaca yang lebih dingin daripada di Beijing.

Setelah berjalan kaki sepanjang 1 kilometer, Tembok Cina mulai terlihat berkelok kelok di atas gunung, naik dan turun, seperti ular naga yang sedang merebahkan tubuhnya. Tapi ternyata aku belum bisa menjejakkan kaki di atas susunan susunan batu Tembok Cina, para pengunjung masih harus antri untuk naik dengan kereta khusus yang ditarik sampai ke mendekat ke Tembok China.

Kereta Sederhana utk naik ke Tembok China
Sampai juga giliranku. Rasa takjub luar biasa serasa akan meluap ketika Tembok Cina hanya beberapa puluh meter dari mataku. Tembok raksasa yang konon pembangunannya dibangun sejak Abad ke 3 Sebelum Masehi itu benar benar karya manusia yang luar biasa. Panjangnya mencapai 6400 Kilometer alias setara 6 kali lipat panjang Pulau Jawa dari Merak sampai Panarukan. Bahkan, jika diukur hingga ke cabang cabangnya, panjangnya akan mencapai 8500 Kilometer.

Sulit melukiskan perasaanku saat aku menjejakkan kakiku di tembok itu. Hamparan pohon pohon kering nan gersang karena musim dingin, seolah terbentang hingga ke kaki langit. Entah di Tembok Cina Kilometer berapa saat itu aku berdiri. Yang jelas, ujung dan hulunya tidak terjangkau oleh mata.

Kami diijinkan berada 3 jam di Tembok China. Tapi baru beberapa kilometer berjalan menyusuri lekukan tembok raksasa itu, kaki rasanya sudah tidak sanggup lagi. Di Badaling, kita bisa melihat salah satu puncak paling tinggi dari Tembok Cina. Tapi konon tidak semua orang bisa sampai kesana. Apalagi di musim dingin seperti ini.

Tembok China
Untuk mengobati rasa penasaranku, aku mencoba berjalan menuju titik tertinggi itu. Ternyata benar juga, tak sampai 3 kilometer, aku menyerah. Udara dingin, dan angin kering yang berhembus, membuat kaki membeku kedinginan. Maka, aku memilih untuk kembali karena takut tertinggal oleh rombongan. Kunjungan hari itu ke Tembok China berakhir, seiring matahari beranjak turun.

Lega, puas dan terharu, mimpi masa kecilku untuk bisa sampai ke Tembok China, bisa aku wujudkan. Bukan hanya kaki menapak di atasnya, tapi Salju terakhir, menjelang pergantian musim dingin ke musim Salju, bisa aku genggam. Sekali ke China, dua mimpi terwujud, menyentuh Tembok China dan melihat Salju. Thanks God.

Tembok China
Salju Terakhir di Badaling
Perjalanan panjang ke Beijing rasanya tidak akan lengkap tanpa mengunjungi salah satu landmark kota itu, Forbidden City yang oleh orang China disebut dengan nama Gugong atau Kota Terlarang. Keesokan harinya atau hari ketiga di ibu kota Republik Rakyat China itu, aku memutuskan untuk mengunjungi Forbidden City.

Forbidden City
Untuk sampai ke Forbidden City, aku memutuskan naik taxi sendiri. Jaraknya pun tidak begitu jauh dari WangFujing Dajie. Tidak sampai setengah jam untuk sampai kesana. Meski hari masih pagi, ribuan orang yang sudah dikelompokkan berdasarkan paket tour mereka, sudah berbaris dengan rapi, untuk masuk dengan teratur.

Takjub, itulah yang ada di pikiranku melihat kerumunan orang yang ingin melihat dari dekat bangunan tua yang sudah berdiri hampir 6 Abad dan melewati 24 kekaisaran di China, dari Dinasti Ming sampai Dinasti Qing. Saking luasnya kawasan Forbidden City yang dikeliling tembok tinggi itu, di dalamnya mampu menampung sekitar 800 bangunan, terdiri dari istana kaisar dan rumah rumah kerabat kaisar dan pejabat istana.

Menjelang makan siang, aku akan melanjutkan perjalanan sendirian ke Niu Jie, kawasan Muslim tertua di Beijing. Sesuai petunjuk yang aku baca aku bisa sampai kesana dengan naik bis, yang jauh lebih murah dibandin naik taxi. Niu Jie sendiri merupakan nama jalan, yang dihuni kaum Muslim di Beijing. Aku naik bis dua kali, sebelum turun di Niu Jie.

Suasana berbeda terlihat di sepanjang Niu Jie. Nuansa Islam China sangat kental disini. Warna hijau dan merah mendominasi bangunan bangunan di Nie Jie. Restoran, Supermarket, sampai pedagang kaki lima, mencantumkan label halal pada jualannya, termasuk tulisan tulisan Arab sebagai bagian dari dekoratif kawasan ini.

Niujie Mosque, Beijing
Di Niu Jie terdapat beberapa masjid modern, tapi yang paling terkenal disini adalah Masjid Niu Jie, masjid tertua di Beijing bahkan di China. Masjid ini diperkirakan berusia lebih dari 1000 tahun, tepatnya di bangun pada tahun 996 Masehi. Masjid yang terbesar dari 68 Masjid yang tersebar di Beijing itu, telah melintasi 6 zaman, dari Dinasti Liao, Song, Yuan, Ming, Qing sampai saat ini era China modern.

Sebagai masjid tertua dan terbesar di Beijing, tidak heran jika masjid ini menjadi pusar komunitas Muslim di Beijing yang jumlahnya sekitar 250 ribu orang. Kawasan Niu Jie sendiri dihuni sekitar 15 ribu kaum Muslim di Beijing dan selalu dikunjungi turis Muslim dari berbagai negara, terutama dari propinsi propinsi mayoritas Muslim di negara itu.

Melihat dari luar, mungkin orang akan berpikir bahwa Niu Jie Mosque adalah sebuah Klenteng, karena secara arsitektur, bangunan ini memang lebih mirip klenteng daripada masjid. Aku masuk ke dalam masjid yang siang itu baru saja selesai sholat Dhuhur. Suasananya jelas saja berbeda dari masjid masjid di Indonesia.

Salah Satu Kegiatan di Masjid Memasok Daging Halal
Masjid Niu Jie terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah. Tempat sholat wanita dan pria pun terletak dalam bangunan yang terpisah. Sedangkan di bagian belakang masjid terdapat lapangan yang lumayan besar, untuk aktifitas masjid. Seperti siang itu, pengurus masjid sedang memotong sapi, untuk memenuhi kebutuhan sapi sebagai makanan halal di kawasan Niu Jie yang luasnya sekitar 6000 meter persegi.

Kunjungan ke Niu Jie hari itu, menjadi penutup kunjungan jalan jalan meretas mimpiku ke China. China, ternyata bukan saja negara yang berhasil membangun negaranya menjadi super modern dan kosmopolis, tapi juga mampu mempertahankan budaya, tradisi dan sejarah negaranya, meski tidak berpondasikan agama. Terjawab sudah pertanyaanku, kenapa kita harus belajar sampai ke China.***