Sunday, June 5, 2011

MERETAS MIMPI DI TEMBOK CHINA...(BAG 2 HABIS)

Oleh : Ahsan Andi Husain

Inilah ujung dari perjalanan panjangku melewati jarak lebih dari 10 Ribu Kilometer ke arah Utara Khatulistiwa demi untuk menunaikan mimpiku menjejakkan kaki di Tembok China.

Baiyun Airport of Guangzhou
Aku sengaja tidak tidur sepanjang perjalanan di udara dari Guangzhou ke Beijing, karena ingin menikmati daratan China dari ketinggian. Tapi kabut dan awan musim dingin seperti membeku dan menutupi seluruh permukaan bumi. Hamparan tanah kering, bukit dan pohon pohon yang mengering, terbentang sangat luas.

Setengah jam sebelum berangkat, aku menyiapkan pakaian musim dinginku, memakai sarung tangan dan sal di leher. Dinginnya udara diluar mulai terasa di dalam kabin pesawat. Alhamdulillah, meski sedikit disertai guncangan, akhirnya pesawat berbadan lebar itu mendarat di Capital International Airport of Beijing. Tak sabar ingin cepat cepat keluar dari badan pesawat dan merasakan dingin di titik beku yang sesungguhnya.

Dari jendela kecil pesawat aku bisa melihat cuaca di Beijing siang itu sangat cerah dan terang, bahkan langit terlihat sangat biru, nyaris tidak ada awan. Dalam hati aku berpikir, pasti udara di luar lagi hangat, tidak sedingin perkiraan cuaca yang muncul di monitor pesawat, yang menyebutkan bahwa suhu di Beijing siang itu adalah 3 derajat Celcius, nyaris mencapai titik nol. Wow, membayangkannya saja sudah membuat gigi gemeretak.

Dengan langkah pasti dan penuh semangat. Aku keluar dari pesawat. Rasa kagumku membuncah saat itu. Bandara Capital, ternyata luar biasa megahnya. Rancangan yang futuristik dengan atap bak kepakan sayap burung yang sedang hinggap, bersepuh warna merah dan perak. Sungguh membuat kita berdecak kagum. Inilah Capital International Airport, 1 dari 10 bandara terindah di dunia.

Suasana Musim Dingin di Beijing
Suhu di dalam bandara terasa hangat, sekitar 20 derajat Celcius. Itu artinya suhu di luar akan jauh lebih dingin daripada di dalam terminal. Perkiraanku ternyata benar. Begitu kakiku selangkah keluar dari pintu keluar terminal bandara, angin kering musim dingin yang berhembus seakan siap merontokkan seluruh tulang tulangku. Cuaca dingin yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, ternyata memang ada.

Hanya berjalan beberapa puluh meter saja, puluhan bis bis besar yang akan mengantar penumpang ke pusat kota berjejer dengan rapi. Tidak ada teriakan teriakan kondektur atau sopir yang memanggil penumpang. Aku sempat bingung apakah bis itu menuju pusat kota Beijing. Lagi lagi bahasa menjadi kendala di Ibu Kota Republik Rakyat China ini.

Dengan sedikit bahasa Mandarin, aku menyampaikan tujuanku hendak ke pusat kota Beijing, pada salah satu penumpang, ternyata dia mengerti, meski hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Tak sampai 10 menit, bis yang aku tumpangi meluncur melalui jalan tol yang mulus dan bersih. Mereka tidak menunggu bis penuh, begitu sampai waktunya berangkat, maka bis itu akan meninggalkan bandara.

Beijing, sungguh sebuah kota yang unik. Sepanjang jalan, batang batang pohon meranggas berdiri tanpa sehelai daun. Seperti ada kebakaran besar yang melanda kota itu. Padahal, memang seperti itulah atmosfir kota empat musim ketika memasuki Musim Dingin. Pohon pohon meranggas, kering tanpa daun, tapi sebetulnya mereka tidak mati, hanya baru saja melewati Musim Gugur sebelum masuk musim dingin. Keunikan itulah yang membuatku merasa berada di belahan bumi lain.

Senja di Wangfujing, Beijing
Mendekati pusat kota, bangunan bangunan jangkung dan modern, seakan menjadi satu kesatuan dengan bangunan bangunan peninggalan kekaisaran China berusia ratusan bahkan mungkin lebih dari seribu tahun. Sebuah harmonisasi yang menjadikan kota Beijing sebagai kota tempat bertemunya China di jaman Dinasti dengan China yang supermodern. Beijing ternyata bukan sekadar kota tradisional seperti yang sering terlihat di film film Kungfu, tapi juga sebuah kota Kosmopolitan yang telah membuka diri pada dunia luar.

Bis yang aku tumpangi berhenti tidak jauh dari Lapangan Tiananmen. Kali ini aku benar benar buta akan kemana selanjutnya setelah turun dari sini. Hotel yang sudah aku reservasi terletak di kawasan Wang Fujing, yang jaraknya saja aku tidak tau dari lokasi aku turun. Aku bergegas membuka peta, sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuanku.

Ternyata jaraknya tidak begitu jauh. Ketika aku turun dari bis, beberapa penarik rigsaw yang mirip becak, datang mendekat ke bis. Aku pun turun dan wow, angin yang berhembus di udara dingin benar benar bikin kulit wajah seperti mati rasa, kaku dan kering.

Bukan hanya pohon pohon yang kering meranggas, tapi udara dan anginnya pun terasa sangat kering, nyaris tidak ada tanaman yang terlihat hijau, bahkan rumput pun mengering. Keadaan seperti itu, tentunya akan berubah di musim Semi, dimana semua pohon menghijau dan berbunga, rumput pun tumbuh dengan subur. Tapi kali ini, pemandangannya sungguh sangat unik.

Aku sempat berbincang sedikit dengan penarik rigsaw dengan bahasa Mandarin seadanya. Beruntung dia paham maksud dan tujuanku. Harga pun disepakati 30 Yuan, atau sekitar 45 ribu rupiah. Aku pun naik, dan rigsaw melaju dengan kencang, udara dingin di siang menjelang sore itu, seakan membuat kulitku retak.

Wangfujing Menjelang Malam
Akhirnya aku sampai di hotel yang sudah aku pesan sebelum berangkat. Aku sempat ribut dengan penarik rigsaw itu, karena mendadak dia menolak ketika aku membayarnya 30 Yuan. “Bukan 30 Yuan, tapi 30 Euro,” katanya enteng dengan bahasa Mandarin. Oh My God, memangnya aku dari Eropa disuruh bayar pake Euro. “Wo mei you, ni shuo san shi renmin bi,” ucapku dalam bahasa Mandarin pas pasan, yang artinya kurang lebih aku nggak mau, kamu kan bilangnya 30 yuan/renmin bi.

Orang itu tetap saja ngotot, tapi aku tetap tidak bersedia membayar sesuai permintaannya. Gila aja 30 Euro kan lebih dari 300 ribu rupiah. Aku langsung memberikan uang sebesar 30 yuan, lalu buru buru pergi. Sebuah pelajaran pertama aku dapatkan di Beijing hari itu, bahwa kita harus berhati hati pada penarik rigsaw di kota ini, kita mungkin saja tertipu karena kita pendatang baru.

Sesampai di hotel, aku check in, masuk kamar dan bergegas mandi. Tak sabar rasanya mau mengeskplore kota modern namun tetap mempertahankan nilai nilai tradisinya itu. Malam itu aku ingin menikmati suasana malam musim dingin di Beijing. Tapi baru beberapa meter aku melangkahkan kaki dari hotel, cuaca yang dingin benar benar membuat badan terasa kaku.

Kaos tangan berbahan wol yang aku siapkan dari Indonesia, nyatanya tidak cukup kuat untuk membendung dinginnya Beijing. Malam itu suhu di Beijing mencapai -7 derajat Celcius. Aku mampir di sebuah toko kecil yang menjual asesoris musim dingin, seperti penutup kepala, fuih untung aku menemukan kaos tangan berbahan kulit dan kain tebal. Lumayan hangat. Tapi ujung ujungnya, jari jari tidak bisa digerakkan untuk menekan tombol kamera saking kakunya.

Aku cukup berjalan kaki untuk sampai di Wang Fujing Dajie (Wang Fujing Boulevard), salah satu kawasan Pusat Perbelanjaan ternama di Beijing. Meski malam itu suhu berada di bawah titik beku, tapi jalan Wang Fujing yang lebar itu, dipenuhi orang orang yang shopping, menikmati makanan dan minuman hangat atau sekadar berjalan jalan, mereguk malam yang cerah dengan bulan purnama nyaris penuh.

Di kawasan Wangfujing, selain terdapat pusat perbelanjaan besar dan elit, juga ada pasar malam yang menjual berbagai barang barang kerajinan dan oleh oleh khas China dengan harga yang bisa di tawar. Suasana pasar malam ini sangat ramai. Pada musim dingin, deretan kios kios dan supermarket di Wang Fujing rata rata menjual pakaian sesuai musim.

Lelah berjalan kaki, perut pun mulai lapar. Tidak jauh dari pasar malam, berderet restoran restoran yang menyajikan berbagai jenis makanan China. Tapi jangan harap kita bisa menemukan masakan Chinese Food yang pas dengan lidah orang Indonesia. Masakan Chinese Food di Beijing, akan membuat lidah kita benar benar bertualang mencari rasa yang pas.

Hampir semua pedagang makanan di Beijing tidak bisa berbahasa Inggris. Aku sempat kesulitan memilih makanan, karena tak bisa menyebutkan nama makanannya. Biasanya, pelayan di restoran akan membawakan menu dan menyuruh kita menunjuk menu yang kita pilih. Kalau mau lebih mudah lagi, tinggal tunjuk menu yang dimakan salah satu pengunjung. Beres. Bagi yang mencari makanan halal, tidak perlu khawatir disini terdapat banyak makanan berlabel halal.

Sebagai kawasan wajib kunjung, Pemerintah Kota Beijing, tampaknya sangat memperhatikan kenyamanan di Wang Fujing. Pedesterian yang lebar dan memberi kebebasan pada pejalan kaki, hingga polisi yang bertugas dengan ramah dan murah senyum. Pada jam jam tertentu, termasuk malam itu, jalan Wang Fujing ditutup untuk kendaraan umum, sehingga orang orang bisa berlalu lalang, tanpa takut menyeberang. Suasana di Wang Fujing dan sekitarnya benar benar hidup dan dinamis.

St Joseph Cathedral at Wangfujing, Beijing
Bukan hanya suasana pusat perbelanjaannya yang hiruk pikuk, tidak jauh dari kawasan nan gemerlap Wang Fujing, terdapat sebuah Katedral tua bergaya Romawi dengan sedikit sentuhan gotik. St Joseph Cathedral Wang Fujing merupakan bangunan gereja tertua di Beijing yang dibangun pada tahun 1653. Menurut sejarahnya, katedral klasik itu sempat mengalami kerusakan parah karena gempa bumi, sehingga harus dibangun kembali pada tahun 1904.

Katedral St Joseph sendiri baru dibuka kembali untuk umum pada tahun 1980, setelah masa restorasi China. Pasalnya, sebagai negara Komunis, tempat tempat ibadah di China, tidak lebih sebagai kenang kenangan peninggalan sejarah. Namun, meski sudah sangat tua, bangunan bangunan tua di China nyaris tidak meninggalkan cacat karena begitu terawatnya, termasuk Katedral St Joseph.

Saya tertarik untuk melihat lebih dekat aktifitas segelintir warga Beijing di Katedral St Joseph. Saya duduk dan ikut masuk sekadar untuk tahu seperti apa kegiatan beragama disalah satu sudut China, yang konon hanya 10 % penduduknya yang mengenal agama. Ternyata, lebih dari separuh yang datang ke Katedral itu adalah warga paruh baya.

Misa berjalan seperti halnya di Indonesia, ada khotbah, ada alunan kidung kidung pujian, yang membedakan hanya bahasanya saja. Pastor yang berkhotbah pun menggunakan Bahasa Mandarin, bahasa nasional di negara itu. Misa hanya berlangsung satu jam, setelahnya orang orang bubar dan saling berjabat tangan. Terasa sangat hangat, meskipun orang yang memiliki agama di negara ini adalah minoritas.

Malam, semakin dingin. Bibir sudah mulai mengering. Meneguk air putih berkali kali rasanya tidak mampu menghilangkan rasa dahaga. Wajah dan sebagian telapak tangan pun sudah mulai kaku dan memerah bahkan hampir mati rasa. Dalam hati aku sempat berpikir, kok ada manusia yang bisa hidup dalam cuaca kering dan dingin seperti di Beijing.

Suasana Pagi di Beijing
Hari kedua di Beijing, aku sudah terbangun pagi pagi. Kamar yang AC-nya tidak diaktifkan, terasa jauh lebih hangat daripada cuaca di luar. Setelah mandi dengan air hangat, mengoleskan minyak kayu putih, pelembab di kulit dan wajah, aku pun bersiap siap untuk mewujudukan mimpiku hari itu, menapakkan kaki di Tembok Cina.

Sekitar pukul 8 Waktu di Beijing, rombongan tour yang akan berangkat ke Tembok Cina sudah berkumpul di lobi hotel. Hanya aku satu satunya orang Indonesia, sebagian besar adalah turis Perancis dan Rusia, sisanya turis dari Hongkong. Dipandu seorang tour guide yang fasih berbahasa Inggris, bus yang kami tumpangi pun meluncur ke Badaling.

Sepanjang perjalanan, pohon pohon kering meranggas, berjejer dengan rapi di sepanjang jalan. Pemandangan itu tentunya sangat kontras di musim semi, karena pohon pohon itu akan menghijau dan berbunga. Tumpahan air yang membeku karena dinginnya pagi, terlihat di sepanjang jalan. Bahkan sungai dan selokan selokan kecil pun tampak membatu tak bergerak.

Pemandangan Beijing di pagi hari terasa sangat hidup. Orang orang mengayuh sepeda, anak anak berangkat sekolah dengan pakaian tebal. Kendaraan kendaraan pun berjalan dengan sangat teratur, tidak ada yang saling menyalip atau membunyikan klakson. Jalan jalan di Beijing sangatlah lebar, walau begitu, pagi dan sore hampir semua ruas jalan akan padat dan sesak oleh kendaraan.

Tak ingin rasanya memejamkan mata, agar bisa menikmati dengan detil setiap sudut kota Beijing. Bus yang aku tumpangi melewati Tiananmen yang terkenal itu, Olympic Center yang super besar dengan arsitekturnya nan futuristik, TV Tower setinggi 400 meter yang terlihat mencolok di pusat kota, sampai Forbidden City yang tersohor itu.

Ming Thombs
Tujuan utama kami seharian itu adalah ke Tembok Cina, melalui Badaling. Badaling adalah salah satu pintu terbaik, terdekat dan paling mudah untuk sampai ke Tembok Cina. Sejak tahun 1957, Badaling yang letaknya sekitar 70 kilometer arah Utara Beijing, dibuka untuk para turis yang hendak ke Tembok China.

Sekitar 50 Kilometer dari Beijing arah Badaling, bus yang aku tumpangi berhenti di destinasi wisata pertama, yaitu Ming Thombs atau bangunan tua sisa peninggalan Dinasti Ming. Kompleks Dinasti Ming itu dibangun pada tahun 1402, dijaman Kekaisaran Yongle, yang memindahkan ibukota China dari Nanjing ke Beijing.

Lumayan puas rasanya bisa melihat dari dekat sisa sisa kekaisaran China lama, di kompleks ini kita bisa melihat barang barang antik peninggalan Dinasti Ming, seperti singgasana, mahkota yang terbuat dari emas, senjata, sampai baju kebesaran kaisar pun masih disimpan dengan rapi, lengkap dengan perhiasan perhiasannya. Semuanya masih terjaga dan terawat dengan baik.

Pusat Kerajinan Giok Terbesar di Dunia
Menjelang siang, kami melanjutkan perjalan ke destinasi utama kami, yaitu The Great Wall. Tapi kami mampir sejenak di tempat kerajinan Giok terbesar di dunia. Meski tidak begitu tertarik dengan giok, tapi ada rasa kagum melihat hasil kerajinan giok yang bermacam macam jenisnya itu. Di tempat ini kita bisa melihat secara langsung tahapan tahapan pengasahan Batu Giok, hingga proses akhir yang siap dijual.

Setelah mampir makan siang, akhirnya perjalanan terakhir ke Tembok Cina dilanjutkan. Hanya 40 menit setelah pusat kerajinan batu giok. Tak sabar rasanya untuk sampai ke salah satu keajaiban dunia itu, tembok raksasa yang konon merupakan satu satunya benda di permukaan di bumi yang bisa terlihat dari bulan.

Akhirnya sampai juga kami di Badaling. Tapi mana Tembok Chinanya ?  Yang terlihat hanya bis bis yang parkir dengan rapi. Rupanya kami masih harus berjalan naik  sekitar 1 kilometer, dengan melewati pedagang kaki lima. Perjalanan kaki yang cukup membuat lutut bergetar karena tingginya ditambah lagi cuaca yang lebih dingin daripada di Beijing.

Setelah berjalan kaki sepanjang 1 kilometer, Tembok Cina mulai terlihat berkelok kelok di atas gunung, naik dan turun, seperti ular naga yang sedang merebahkan tubuhnya. Tapi ternyata aku belum bisa menjejakkan kaki di atas susunan susunan batu Tembok Cina, para pengunjung masih harus antri untuk naik dengan kereta khusus yang ditarik sampai ke mendekat ke Tembok China.

Kereta Sederhana utk naik ke Tembok China
Sampai juga giliranku. Rasa takjub luar biasa serasa akan meluap ketika Tembok Cina hanya beberapa puluh meter dari mataku. Tembok raksasa yang konon pembangunannya dibangun sejak Abad ke 3 Sebelum Masehi itu benar benar karya manusia yang luar biasa. Panjangnya mencapai 6400 Kilometer alias setara 6 kali lipat panjang Pulau Jawa dari Merak sampai Panarukan. Bahkan, jika diukur hingga ke cabang cabangnya, panjangnya akan mencapai 8500 Kilometer.

Sulit melukiskan perasaanku saat aku menjejakkan kakiku di tembok itu. Hamparan pohon pohon kering nan gersang karena musim dingin, seolah terbentang hingga ke kaki langit. Entah di Tembok Cina Kilometer berapa saat itu aku berdiri. Yang jelas, ujung dan hulunya tidak terjangkau oleh mata.

Kami diijinkan berada 3 jam di Tembok China. Tapi baru beberapa kilometer berjalan menyusuri lekukan tembok raksasa itu, kaki rasanya sudah tidak sanggup lagi. Di Badaling, kita bisa melihat salah satu puncak paling tinggi dari Tembok Cina. Tapi konon tidak semua orang bisa sampai kesana. Apalagi di musim dingin seperti ini.

Tembok China
Untuk mengobati rasa penasaranku, aku mencoba berjalan menuju titik tertinggi itu. Ternyata benar juga, tak sampai 3 kilometer, aku menyerah. Udara dingin, dan angin kering yang berhembus, membuat kaki membeku kedinginan. Maka, aku memilih untuk kembali karena takut tertinggal oleh rombongan. Kunjungan hari itu ke Tembok China berakhir, seiring matahari beranjak turun.

Lega, puas dan terharu, mimpi masa kecilku untuk bisa sampai ke Tembok China, bisa aku wujudkan. Bukan hanya kaki menapak di atasnya, tapi Salju terakhir, menjelang pergantian musim dingin ke musim Salju, bisa aku genggam. Sekali ke China, dua mimpi terwujud, menyentuh Tembok China dan melihat Salju. Thanks God.

Tembok China
Salju Terakhir di Badaling
Perjalanan panjang ke Beijing rasanya tidak akan lengkap tanpa mengunjungi salah satu landmark kota itu, Forbidden City yang oleh orang China disebut dengan nama Gugong atau Kota Terlarang. Keesokan harinya atau hari ketiga di ibu kota Republik Rakyat China itu, aku memutuskan untuk mengunjungi Forbidden City.

Forbidden City
Untuk sampai ke Forbidden City, aku memutuskan naik taxi sendiri. Jaraknya pun tidak begitu jauh dari WangFujing Dajie. Tidak sampai setengah jam untuk sampai kesana. Meski hari masih pagi, ribuan orang yang sudah dikelompokkan berdasarkan paket tour mereka, sudah berbaris dengan rapi, untuk masuk dengan teratur.

Takjub, itulah yang ada di pikiranku melihat kerumunan orang yang ingin melihat dari dekat bangunan tua yang sudah berdiri hampir 6 Abad dan melewati 24 kekaisaran di China, dari Dinasti Ming sampai Dinasti Qing. Saking luasnya kawasan Forbidden City yang dikeliling tembok tinggi itu, di dalamnya mampu menampung sekitar 800 bangunan, terdiri dari istana kaisar dan rumah rumah kerabat kaisar dan pejabat istana.

Menjelang makan siang, aku akan melanjutkan perjalanan sendirian ke Niu Jie, kawasan Muslim tertua di Beijing. Sesuai petunjuk yang aku baca aku bisa sampai kesana dengan naik bis, yang jauh lebih murah dibandin naik taxi. Niu Jie sendiri merupakan nama jalan, yang dihuni kaum Muslim di Beijing. Aku naik bis dua kali, sebelum turun di Niu Jie.

Suasana berbeda terlihat di sepanjang Niu Jie. Nuansa Islam China sangat kental disini. Warna hijau dan merah mendominasi bangunan bangunan di Nie Jie. Restoran, Supermarket, sampai pedagang kaki lima, mencantumkan label halal pada jualannya, termasuk tulisan tulisan Arab sebagai bagian dari dekoratif kawasan ini.

Niujie Mosque, Beijing
Di Niu Jie terdapat beberapa masjid modern, tapi yang paling terkenal disini adalah Masjid Niu Jie, masjid tertua di Beijing bahkan di China. Masjid ini diperkirakan berusia lebih dari 1000 tahun, tepatnya di bangun pada tahun 996 Masehi. Masjid yang terbesar dari 68 Masjid yang tersebar di Beijing itu, telah melintasi 6 zaman, dari Dinasti Liao, Song, Yuan, Ming, Qing sampai saat ini era China modern.

Sebagai masjid tertua dan terbesar di Beijing, tidak heran jika masjid ini menjadi pusar komunitas Muslim di Beijing yang jumlahnya sekitar 250 ribu orang. Kawasan Niu Jie sendiri dihuni sekitar 15 ribu kaum Muslim di Beijing dan selalu dikunjungi turis Muslim dari berbagai negara, terutama dari propinsi propinsi mayoritas Muslim di negara itu.

Melihat dari luar, mungkin orang akan berpikir bahwa Niu Jie Mosque adalah sebuah Klenteng, karena secara arsitektur, bangunan ini memang lebih mirip klenteng daripada masjid. Aku masuk ke dalam masjid yang siang itu baru saja selesai sholat Dhuhur. Suasananya jelas saja berbeda dari masjid masjid di Indonesia.

Salah Satu Kegiatan di Masjid Memasok Daging Halal
Masjid Niu Jie terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah. Tempat sholat wanita dan pria pun terletak dalam bangunan yang terpisah. Sedangkan di bagian belakang masjid terdapat lapangan yang lumayan besar, untuk aktifitas masjid. Seperti siang itu, pengurus masjid sedang memotong sapi, untuk memenuhi kebutuhan sapi sebagai makanan halal di kawasan Niu Jie yang luasnya sekitar 6000 meter persegi.

Kunjungan ke Niu Jie hari itu, menjadi penutup kunjungan jalan jalan meretas mimpiku ke China. China, ternyata bukan saja negara yang berhasil membangun negaranya menjadi super modern dan kosmopolis, tapi juga mampu mempertahankan budaya, tradisi dan sejarah negaranya, meski tidak berpondasikan agama. Terjawab sudah pertanyaanku, kenapa kita harus belajar sampai ke China.***

1 comment:

  1. Keren banget cerita nya, thx yo mas sdh mau share cerita. GBU

    ReplyDelete